Bulan Muharam menjadi salah satu bulan istimewa dalam kalender Hijriah. Selain menandai awal tahun baru Islam, bulan ini juga sarat sejarah penting yang membentuk perjalanan umat Muslim sejak masa Nabi Muhammad SAW. Tak hanya memiliki nilai spiritual tinggi, bulan Muharam juga melahirkan berbagai tradisi unik di Nusantara yang terus dilestarikan hingga kini.
Sejarah dan Makna Muharam
Bulan Muharam merupakan salah satu dari empat bulan dalam penanggalan Hijriah dan merupakan bulan pertama dalam setahun. Melansir situs Nahdlatul Ulama Jabar, kata Muharam sendiri memiliki makna dilarang atau diharamkan, yang mengacu pada larangan untuk pergi berperang selama bulan ini.
Bulan Muharam awalnya bernama Shafar Awwal. Penamaan ini didasarkan karena posisinya yang berada sebelum bulan Shafar. Melansir situs Baznas, sejarah bulan Muharam pertama kali dimulai ketika Umar bin Khattab RA menerima sepucuk surat dari sahabatnya, yakni Abu Musa Al-Asyari RA yang tidak dibubuhi tanggal dan hari pengirimannya.
Hal tersebut menyulitkan Umar bin Khattab karena ia jadi tidak bisa menandai surat lama dan surat baru. Kesulitan tersebut kemudian dibawa dalam musyawarah dengan para sahabatnya untuk menentukan dimulainya awal tahun baru Hijriah.
Penentuan dilakukan menggunakan beberapa peristiwa penting, yakni tahun kelahiran Nabi Muhammad, diangkatnya Nabi Muhammad menjadi Rasul, tahun wafat, dan peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah.
Peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah kemudian dipilih untuk menjadi awal tahun Hijriah atau bulan Muharam, sesuai dengan usulan Ali bin Thalib.
Tradisi Bulan Muharam di Indonesia
Bubur Merah Putih dan Kirab di Jawa
Foto: Bubur Beras | Sumber: Unsplash/Charles Chen
Awal tahun baru Hijriah atau bulan Muharam kerap dirayakan dengan berbagai tradisi di pulau Jawa. Melansir situs Edu Learning Academy, salah satu tradisi yang dilakukan khususnya oleh masyarakat Madura adalah membuat bubur merah putih atau tajin mera pote.
Makanan tradisional tersebut memiliki dua warna, merah dan putih yang berasal dari gula merah dan santan. Warna merah bubur merah putih menggambarkan darah Sayyidina Husein sedangkan warna putih menggambarkan kesucian perjuangannya.
Tradisi lain yang terkenal adalah yang dilakukan masyarakat khususnya di sekitar Keraton Yogyakarta. Melansir situs Ambarrukmo, bulan Muharam juga dikenal dengan bulan Suro. Bulan Suro merupakan bulan sakral bagi masyarakat Jawa, sehingga pada bulan ini dianjurkan untuk banyak melakukan introspeksi diri.
Berbagai tradisi juga dilakukan, salah satunya yang terkenal adalah mubeng beteng atau kirab, yakni kegiatan mengitari kawasan Keraton Yogyakarta dengan berlawanan arah jarum jam. Selama kegiatan tersebut berlangsung, peserta kirab tidak diperbolehkan mengeluarkan suara atau bunyi-bunyian apapun.
Tradisi Tabuik di Sumatera Barat
Foto: Festival Tabuik di Sumatera Barat | Sumber: Situs Web National Geographic Indonesia
Selain Jawa, masyarakat di daerah lain di Indonesia juga memiliki perayaan atau tradisi tersendiri dalam menyambut bulan Muharam, salah satunya adalah masyarakat Sumatera Barat, khususnya Kota Pariaman, dengan tradisi tabuiknya.
Melansir situs National Geographic Indonesia, tradisi tabuik dilaksanakan untuk memperingati syahidnya cucu Nabi Muhammad, Husein bin Ali bin Abi Thalib di Padang Karbala. Tradisi tabuik dilakukan selama 10 hari di awal bulan Muharam.
Tabuik sendiri memiliki makna keranda. Tradisi tabuik dilaksanakan beberapa proses yang melibatkan tokoh masyarakat, iring-iringan, dan pembacaan mantra. Kegiatan tabuik diakhiri dengan mengiring keranda ke pantai untuk kemudian dilepaskan ke laut.
Tradisi Tabut di Bengkulu
Foto: Tradisi Tabut di Bengkulu | Sumber: Situs Web Indonesia Traveler
Tradisi tabut masyarakat Bengkulu mirip dengan tradisi tabuik masyarakat Sumatera Barat, yakni dilaksanakan untuk memperingati kematian cucu Nabi Muhammad, Husein bin Ali bin Abi Thalib saat perang. Melansir situs web Indonesia Traveler, tradisi tabut dilaksanakan dalam beberapa proses selama 10 hari pertama bulan Muharam. Berikut urutan proses tradisi tabut:
- Proses yang pertama adalah mengambil tanah yang dilakukan pada 1 Muharam
- Duduk penja atau membersihkan benda berbentuk telapak tangan sebagai simbol tangan Husein bin Ali bin Abi Thalib pada 4 dan 5 Muharam
- Menjara atau berkunjung pada 5 dan 6 Muharam
- Meradai atau mengumpulkan dana sukarela
- Arak jari-jari yakni mengarak penja dan arak sorban yakni mengarak sorban putih yang dilakukan pada 7 dan 8 Muharam
- Gam atau masa tenang
- Dilanjutkan tabut naik pangkek atau naik panggung dan arak gedang atau arak besar pada 9 dan 10 Muharam.
- Mengarak tabut
Proses mengarak tabut inilah yang berbeda dengan tabuik. Jika pada tradisi tabuik keranda diarak kemudian dilepaskan ke laut, maka pada tradisi tabut, keranda diarak ke sebuah pemakaman yang disebut karabela. Proses terakhir ini merupakan simbol pemakaman Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Tradisi Ngadulag Masyarakat Sunda
Foto: Tradisi Memukul Bedug | Sumber: Unsplash/Mufid Majnun
Tradisi menyambut bulan Muharam ini sedikit berbeda dengan yang dilakukan masyarakat Jawa Tengah. Tradisi Ngadulag berasal dari Jawa Barat, tepatnya masyarakat Sukabumi dan Bogor. Melansir dari Bandung Bergerak.id, ngadulag berasal dari kata dulag, yang berarti tabuh. Tradisi ini bukan sepenuhnya asli dari ajaran Islam, melainkan sebuah perpaduan budaya antara budaya Tionghoa atau Buddha dengan agama Islam di Indonesia.
Sesuai dengan namanya, tradisi ini dilaksanakan dengan menabuh bedug secara terus menerus dengan nada yang diatur tersendiri. Tabuhan bedug tidak dilakukan sembarangan, melainkan sesuai dengan etika dan aturannya tersendiri.
Tradisi Nganggung Masyarakat Bangka Belitung
Tradisi lain untuk menyambut bulan Muharam adalah nganggung yang berasal dari Bangka Belitung. Melansir Nahdlatul Ulama Online, nganggung memiliki makna membawa makanan dalam dulang atau baki bundar.
Makanan tersebut merupakan simbol kebersamaan, kekompakan, gotong royong, dan perasaan saling memberi dan menerima untuk kesejahteraan bersama. Nganggung umumnya dilaksanakan oleh masyarakat muda sedangkan orang tua dan sesepuh desa akan bertugas menyambut tamu dan mengatur kegiatan yang ada di dalam masjid.
Tradisi nganggung dilakukan dua kali yakni malam dan pagi hari dengan isi makanan yang dibawa menggunakan dulang atau baki berbeda.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News