Di antara terumbu karang dan celah-celah batu, hidup makhluk purba yang tidak bergerak, berbentuk seperti tabung, vas, atau gumpalan yang berpori-pori.
Makhluk ini adalah hewan spons, organisme multiseluler paling primitif yang menyimpan potensi luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan manusia. Meski sering disalahartikan sebagai tumbuhan laut, hewan spons (Phylum Porifera) adalah kingdom animalia sejati.
Apa Itu Hewan Spons?
Hewan spons, dengan nama ilmiah yang merujuk pada filumnya, Porifera (berarti "pembawa pori"), adalah hewan multiseluler yang tidak memiliki jaringan dan organ sejati seperti hewan pada umumnya.
Tubuhnya sangat sederhana, hanya terdiri dari beberapa jenis sel yang bekerja sama untuk bertahan hidup. Mereka diklasifikasikan ke dalam empat kelas utama berdasarkan komposisi kerangkanya: Calcarea (kerangka dari kalsium karbonat), Demospongiae (kerangka dari serat spongin dan/atau spikula silika), Hexactinellida (kerangka dari spikula silika berseri enam), dan Homoscleromorpha (kerangka dengan spikula sederhana).
Ciri fisik yang paling mencolok adalah tubuhnya yang berpori-pori. Permukaan tubuhnya dipenuhi pori-pori kecil (ostia) tempat air masuk. Air tersebut kemudian dialirkan melalui sistem saluran dan kamar berflagel sebelum akhirnya keluar melalui lubang yang lebih besar yang disebut oskulum.
Tubuhnya lunak dan lentur, namun didukung oleh kerangka internal yang terbuat dari protein (spongin) atau mineral (spikula). Bentuk dan warnanya sangat bervariasi, mulai dari yang menyerupai sarung tangan, tabung, hingga gumpalan tak beraturan, dengan warna-warna cerah seperti kuning, merah, oranye, atau ungu.
Punya Cara Makan yang Unik
Hewan spons adalah penghuni perairan, dan sebagian besar hidup di lingkungan laut, dari perairan dangkal yang diterangi matahari hingga kegelapan abyssal di laut dalam. Beberapa spesies bahkan dapat ditemukan di perairan tawar. Mereka bersifat sesil, artinya menempel permanen pada substrat yang keras seperti batu, karang, atau dasar laut.
Mekanisme hidupnya yang unik adalah sebagai filter feeder. Mereka adalah pembersih alami lautan. Air laut yang mengandung partikel makanan seperti bakteri, plankton, dan detritus organik, dihisap secara pasif melalui pori-ostia berkat gerakan flagel dari sel-sel khusus yang disebut koanosit.
Partikel makanan tersebut kemudian ditangkap dan dicerna, sementara air yang telah disaring dialirkan keluar melalui oskulum. Proses ini sangat efisien; seekor spons berukuran satu meter dapat menyaring hingga ribuan liter air per hari, sehingga berperan crucial dalam menjaga kejernihan dan kualitas air laut.
Potensi Besar Spons
Potensi besar yang dimiliki hewan spons ini mendapatkan perhatian serius dari para ilmuwan di Indonesia, salah satunya adalah Prof. Dr. rer. nat. Edwin Setiawan, S.Si., BioCur., M.Sc., Guru Besar ke-227 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).
Prof. Edwin menegaskan bahwa Indonesia dengan kekayaan alamnya yang melimpah memiliki keanekaragaman hayati laut, termasuk spons, yang sangat potensial. Namun, potensi ini belum tergarap secara optimal.
Prof. Edwin menyoroti pemanfaatan spons dalam dunia farmasi. "Kemampuan spons dalam menghasilkan senyawa kimia dimanfaatkan dalam dunia farmasi untuk menghasilkan bahan antikanker," ujarnya.
Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons merupakan senyawa pertahanan diri yang telah terbukti memiliki sifat antibakteri, antivirus, dan yang paling menjanjikan, antikanker.
Tak hanya itu, perannya sebagai filter feeder juga membuatnya menjadi bioindikator yang baik untuk pencemaran lingkungan serta subjek kajian yang menarik dalam teori evolusi karena sifatnya yang primitif.
Sayangnya, menurut Prof. Edwin, Indonesia tertinggal dalam hal bioprospeksi atau identifikasi spesies spons. "Di dunia termasuk Asia Tenggara, bioprospeksi sudah banyak digencarkan. Sayangnya, Indonesia dengan perairan yang luas masih sangat terbatas dalam melakukan penelitian maupun identifikasi untuk mengungkap beragam spesies spons," ungkapnya.
Minimnya pengetahuan tentang biodiversitas spons ini tidak hanya menghasilkan data yang kurang valid, tetapi juga berpotensi menyebabkan kesalahan identifikasi.
Dampak terbesarnya, seperti yang ditandaskan oleh Prof. Edwin, adalah potensi kepunahan spesies yang belum teridentifikasi. Banyak spesies spons mungkin punah sebelum sempat ditemukan dan dipelajari, yang berarti kehilangan senyawa bioaktif potensial yang mungkin tidak akan pernah ditemukan lagi.
Oleh karena itu, ia mendorong adanya proses identifikasi yang lebih masif dan pendalaman penelitian terhadap hewan purba ini. Upaya ini bukan hanya untuk mengejar ketertinggalan, tetapi juga untuk mengungkap khazanah keilmuan dan ekonomi yang tersembunyi di perairan Nusantara.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


