Menggapai cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi negara maju bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi atau infrastruktur megah, tapi kualitas sumber daya manusianya. Kualitas itu bertumpu pada pendidikandengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Agar bisa belajar dengan baik, masyarakat harus bisa mengakses ilmu pengetahuan. Salah satu cara paling mendasar adalah dengan membaca.
Kita semua tentu pernah mendengar pepatah, “Membaca adalah jendela dunia.” Tapi kenyataannya, membuka jendela itu tidak semudah menolehkan kepala. Kawan GNFI yang sudah bisa membaca pun terkadang malas melakukannya, bukan? Lalu bagaimana dengan mereka yang bahkan belum bisa mengenal huruf? Jendela dunia tertutup rapat, bahkan cahaya ilmu pun sulit untuk diterima.
Data PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2022 menempatkan literasi Indonesia di peringkat ke-62 dari 70 negara lain. Masalah literasi masih tetap menghantui dari rendahnya minat baca, keterbatasan akses buku, hingga masih adanya kelompok masyarakat yang sama sekali belum bisa membaca dan menulis. Inilah masalah serius yang jarang dibicarakan, padahal kuncinya adalah tanpa masyarakat yang melek huruf, mimpi menjadi negara maju hanyalah angan belaka.
Di tengah situasi ini, ada sosok sederhana dari Malang, Jawa Timur, yang memilih untuk tidak berpangku tangan. Namanya Eko Cahyono. Ia bukan pejabat tinggi, bukan pula akademisi ternama. Ia hanyalah seorang anak bangsa yang peduli. Meski begitu, kecintaannya pada dunia literasi membuatnya bertekad dalam dirinya untuk memberantas buta huruf di lingkungannya.
Pada tahun 2012, Eko mendirikan sebuah gerakan bernama Pustaka Anak Bangsa. Jangan bayangkan perpustakaan besar dengan rak-rak tinggi penuh literatur bak Perpustakaan Alexandria. Pustaka ini hadir dengan cara yang sangat sederhana dengan memanfaatkan ruang apa saja yang bisa dijangkau masyarakat. Bengkel motor, pos ojek, warung kopi, bahkan ruang tamu kecil sekalipun bisa disulap jadi titik baca. Baginya, yang penting bukan kemewahan fasilitas, melainkan kemauan untuk belajar.
Melalui Pustaka Anak Bangsa, Eko tidak hanya menyediakan buku bacaan untuk anak-anak, tetapi juga mengadakan kegiatan eduatif yang menarik, seperti kelas komputer dasar, sesi melukis di kanvas, pemutaran film bersama yang berlanjut diskusi, hingga pelatihan keterampilan praktis seperti memasak, menjahit, dan menanam tanaman obat tradisional.
Tentu perjalanan ini tidak mulus. Dana terbatas, koleksi buku sering bergantung pada donasi, dan perjalanan menuju desa-desa terpencil bukan hal mudah. Belum lagi menghadapi anggapan bahwa literasi tidak sepenting kebutuhan sehari-hari. Namun, semangat Eko tidak surut. Baginya, memberantas buta huruf bukan hanya soal mengajari membaca, tapi juga soal memberikan harga diri. Huruf-huruf yang tadinya asing kini menjadi milik mereka sehingga lahir keberanian baru untuk bermimpi.
Kini, Pustaka Anak Bangsa sudah menjangkau puluhan desa di Kabupaten Malang. Ribuan anak, remaja, hingga orang dewasa sudah merasakan dampaknya. Semakin banyak yang bisa membaca, semakin banyak pula yang membuka jendela dunia mereka. Atas dedikasinya, Eko Cahyono dianugerahi SATU Indonesia Awards 2012 dari Astra, sebuah penghargaan bagi anak-anak muda yang menggerakkan perubahan di bidang masing-masing.
Namun, penghargaan bukan tujuan utama. Bagi Eko, yang lebih penting adalah melihat perubahan nyata di masyarakat. Melihat senyum anak kecil ketika berhasil mengeja kalimat pertamanya, atau rasa bangga orang tua yang mampu membaca doa dalam tulisan itu adalah hadiah terindah.
Kisah Eko Cahyono memberi pelajaran berharga bagi kita semua. Bahwa kemajuan bangsa tidak melulu soal pembangunan fisik. Tol yang megah dan gedung pencakar langit akan hampa jika masyarakatnya tertinggal dalam hal literasi. Perubahan sejati justru dimulai dari hal-hal sederhana yakni sebuah buku, sebuah komunitas, dan satu orang yang berani peduli.
Masyarakat yang gemar membaca akan tumbuh menjadi masyarakat yang kritis, terbuka, dan siap menghadapi tantangan global. Tentu saja itu tidak bisa tercapai jika masih ada sekitar kita yang terjebak dalam buta huruf. Oleh karena itu, perjuangan literasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau aktivis, tapi kita semua.
Karena pada akhirnya, literasi adalah pintu menuju masa depan. Dan setiap pintu yang kita buka bersama akan membawa bangsa ini selangkah lebih dekat pada cita-cita menjadi negara maju.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News