anies baswedan ingin indonesia fokus investasi sdm berkualitas korsel jadi contoh - News | Good News From Indonesia 2025

Anies Baswedan Ingin Indonesia Fokus Investasi SDM Berkualitas, Korsel Jadi Contoh

Anies Baswedan Ingin Indonesia Fokus Investasi SDM Berkualitas, Korsel Jadi Contoh
images info

Anies Baswedan Ingin Indonesia Fokus Investasi SDM Berkualitas, Korsel Jadi Contoh


Anies Rasyid Baswedan adalah politisi dan akademisi yang telah mewarnai panggung nasional Indonesia. Dikenal sebagai sosok intelektual dengan visi tajam di mana ia kerap terjun langsung ke dalam ranah kebijakan publik dan pemerintahan.

Puncak karier eksekutif Anies sejauh ini adalah ketika ia menjabat sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta periode 2017–2022. Kepemimpinannya memimpin Jakarta ditandai dengan sejumlah program dan kebijakan strategis.

Anies juga pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada 2014-2016. Dipilihnya ia menjadi menteri diukur dari kontribusinya terhadap dunia pendidikan Indonesia sejak awal 2000-an.

Sebagai pemerhati dunia pendidikan, Anies memiliki pemahaman mengenai arah yang baik untuk kemajuan bangsa. Dari banyak cara, ia merasa Indonesia membutuhkan fokus lebih terhadap sumber daya manusia (SDM) berkualitas agar kelak bisa menciptakan kesejahteraan dalam berkehidupan.

SDM Berkualitas

“Asia sudah menunjukkan bukti bangsa yang invest pada kualitas manusia. Jepang setelah Restorasi Meiji di 1850-an mereka investasi pada kualitas manusia. Dalam waktu lima dekade mereka setara Eropa,” ucap Anies kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.

Sesuai yang diucapkan Anies, Jepang mengalami transformasi besar dengan memanfaatkan investasi kualitas terhadap SDM-nya. Hasilnya pun terbukti kini di mana Jepang yang luasnya tak seberapa menguasai sejumlah sektor salah satunya teknologi dan bisa bersaing dengan negara-negara Barat.

Namun, dibandingkan Jepang, Anies merasa Korea Selatan adalah yang patut ditiru Indonesia. Di sana jenjang pendidikan memegang pendekatan vertikal di mana setiap anak SD bisa masuk SMP, setelahnya bisa masuk SMA, dan seterusnya sampai masuk perguruan tinggi.

“Korea Selatan berposisi seperti Indonesia di tahun 60-an. Mereka lompat luar biasa. Salah satu yang mereka kerjakan adalah memastikan bahwa jenjang pendidikan itu seperti vertikal, bukan pyramid,” katanya lagi.

Anies lantas menyayangkan pendekatan pyramid yang dipakai banyak negara termasuk Indonesia. Hal itu dilihatnya menciptakan pengangguran terdidik yang tidak siap mengisi posisi strategi kala kesempatan tiba-tiba muncul.

“Bayangkan sarjana menjadi office boy, sarjana menjadi clerk, sarjana menjadi pengemudi kendaraan umum. Begitu investasi masuk, kegiatan ekonomi meningkat, mereka tinggal pindah profesi jadi manajer. Jadi yang disebut sebagai manusia terdidik itu tinggal membutuhkan tempat. Tapi kalau kita seperti pyramid, masuk kegiatan investasi, perekonomian bergerak, orangnya enggak ada,” ujar mantan rektor Universitas Paramadina itu.

Dampak Positif Polarisasi

Sebelumnya, Anies dalam obrolannya membahas mengenai polarisasi. Menurutnya polarisasi dan perpecahan ada di titik yang berbeda dengan fase yang berbeda pula. Ia menggariskan empat tahap yang dapat dilalui sebuah perbedaan pendapat yaitu polarisasi, friksi, konflik, dan perpecahan.

Polarisasi tidak hanya di dalam politik yang artinya bisa di mana saja. Anies mengambil contoh saat seseorang atau lebih dari satu orang mendukung tim kesayangannya, polarisasi pun bisa tercipta.

Maka dari itu, ia merasa butuh adanya kesadaran, ambang batas atau batasan tertentu dalam memberikan dukungan. Ia mengingatkan saat “pertandingan” sudah selesai, maka selesai jugalah polarisasi itu.

“Setelah selesai, copotlah itu jersey. Itu namanya mengelola dengan baik,” ucap Anies.

Anies mengerti ada masanya perbedaan menjadi tajam saat berkompetisi. Akan tetapi, setelah kompetisi selesai, sudah semestinya identitas kelompok yang terpolarisasi harus dilepaskan, dan masyarakat kembali menjadi utuh.

Ia mencontohkan debat Brexit di Inggris di mana polarisasinya sangat keras dan ketat, tetapi tidak menyangkut isu identitas atau ras. Ketika argumen bertubi-tubi disuarakan, publik mendapatkan pencerahan, dan setelah keputusan diambil, polarisasi pun selesai.

“Polarisasi itu akan bisa merangsang sampai pada tahap tertentu enggak asal enggak kebablasan jadi friksi, Merangsang masing-masing pihak itu untuk menyampaikan argumen, menyampaikan gagasan, berdebat, yang itu kemudian memaksa kita yang menonton menyaksikan adanya gagasan-gagasan yang saling diasah,” ungkapnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dimas Wahyu Indrajaya lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dimas Wahyu Indrajaya.

DW
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.