Rencana redenominasi rupiah atau penyederhanaan nilai rupiah mencuat kembali di era Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Rencana redenominasi ini sendiri tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029. Namun, sebelum itu, apa itu redenominasi?
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Kebijakan redenominasi nantinya akan menyederhanakan 3 digit nilai uang rupiah, misalnya, dari Rp1.000 menjadi Rp1. Value atau nilai dari uang yang disederhanakan ini tidak akan berkurang sama sekali.
Contohnya, harga sebungkus nasi campur adalah Rp10.000. Ketika redenominasi diterapkan, uang tersebut menjadi Rp10 dan tetap bisa Kawan GNFI gunakan untuk membeli sebungkus nasi campur.
Seperti yang tertuang dalam RUU tentang Perubahan Harga Rupiah, terdapat dua alasan mengapa perlu dilakukannya redenominasi di Indonesia. Pertama, redenominasi dapat berdampak pada efisiensi perekonomian seperti efisiensi pencantuman harga barang atau jasa, berkurangnya risiko human error, dan adanya percepatan waktu transaksi.
Kedua, redenominasi dapat menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi, dan pelaporan APBN karena berkurangnya jumlah digit rupiah.
Kawan GNFI, kita sebagai masyarakat Indonesia sebenarnya cukup sering menyederhanakan pengucapan harga barang maupun jasa, salah satu contohnya pada pengucapan Rp20.000 menjadi 20 saja.
Tak hanya dalam kehidupan sehari-hari, banyak kafe dan kedai makan yang juga menyederhanakan nominal rupiah yang ditulis dalam menunya, seperti hanya menuliskan 20k.
Menariknya, ternyata bukan hanya Indonesia yang akan melakukan redenominasi. Redenominasi juga telah diterapkan oleh berbagai negara lain di dunia juga, lo. Mari simak alasan dan proses negara-negara di dunia yang sukses melakukan redenominasi di bagian berikut.
Beberapa Negara yang Sukses Lakukan Redenominasi
Turki

kiri: Turkish Lira, kanan: Yeni Turkish Lira
Turki melakukan redenominasi karena inflasi yang berkepanjangan pada tahun 1970-an sampai 1990-an. Kala itu, Turki mengalami hiperinflasi yang jika dibandingkan dengan negara berkembang, angka inflasinya sudah sangat melambung tinggi.
Redenominasi yang Turki lakukan mulai berjalan pada tahun 2005 dengan cara mengonversi mata uang Lira dengan kode TL menjadi Lira baru dengan kode YTL. Selain itu, Turki juga mengurangi 6 digit nilai mata uang Lira dari 1.000.000 TL menjadi 1 YTL.
Penerapan redenominasi di Turki berlangsung selama 7 tahun. Ddalam prosesnya, pemerintah Turki sangat memperhatikan stabilitas perekonomian dalam negeri.
Proses redenominasi dilakukan dengan cara memberlakukan kedua mata uang—TL dan YTL—selama setahun. Selanjutnya, mata uang Lira lama (TL) ditarik secara bertahap dan digantikan dengan mata uang Lira baru (YTL).
Sebutan "Yeni" pada YTL berlaku sampai tahun 2009 yang kemudian dihilangkan sehingga kembali menjadi TL dengan nilai yang telah diredenominasi.
Selama redenominasi berlangsung, keadaan ekonomi Turki tetap terjaga. Hal ini ditunjukkan dengan angka inflasi Turki pada tahun 2005 sampai dengan 2009 yang tetap stabil di kisaran 8–9%.
Polandia

kiri: zloty lama (PLZ), kanan: zloty baru (PLN)
Polandia telah beberapa kali melakukan redenominasi terhadap mata uangnya, zloty. Redenominasi terakhir terjadi pada Januari 1995 karena hiperniflasi Polandia yang terjadi sejak 1990.
Redenominasi dilakukan dengan mengganti mata uang zloty lama dengan kode PLZ menjadi zloty baru dengan kode PLN. Selain itu, pemerintah Polandia juga mengurangi 4 digit nilai mata uangnya sehingga 10.000 zloty lama sama dengan 1 zloty baru. Setelah redenominasi dilakukan, nilai mata uang zloty sejak tahun 1995 relatif stabil.
Ukraina

kiri: karbovanets, kanan: hryvnias
Hiperinflasi, terjadi pada awal tahun 1990-an imbas pecahnya Uni Soviet, juga menjadi faktor yang mendorong Ukraina melakukan redenominasi pada tahun 1996.
Redenominasi dilakukan dengan cara mengganti mata uang Ukaraina menjadi hryvnias dari mata uang sebelumnya, karbovanets. Proses penyederhanaan mata uang dilakukan dengan memangkas 5 digit sehingga 100.000 karbovantsiv digantikan dengan 1 hryvina.
Proses redenominasi berjalan dengan cara memberlakukan kedua mata uang—hryvnias dan karbovanets—secara bersamaan selama periode transisi pada 2–16 September 1996. Para penjual diharuskan untuk memberikan kembalian hanya dalam hryvnias. Semua uang yang tersimpan dalam bank diubah ke mata uang hryvnias secara otomatis.
Selama periode transisi ini, 97% dari karbovanets telah ditarik dari peredaran dan setelah 16 September 1996, karbovanets yang masih beredar dapat ditukar dengan hryvnias di bank.
Romania

kiri: lei (ROL), kanan: leu (RON)
Redenominasi dilakukan oleh Romania yang merupakan imbas dari tingginya inflasi pada tahun 1990-an. Redenominasi ini juga menandakan akhir simbolis transisi ekonomi Romania dari ekonomi terencana di bawah komunisme ke ekonomi pasar bebas.
Redenominasi dilakukan pada Maret 2005 dengan mengubah mata uang dari lei dengan kode ROL menjadi leu dengan kode RON. Nilai mata uang yang dipotong sebanyak 4 digit, yang berarti 10.000 lei lama digantikan dengan 1 leu baru.
Romania juga memberlakukan kedua mata uang secara bersamaan dan mengharuskan harga-harga ditampilkan dalam leu lama dan leu baru. Pemberlakuan kedua mata uang berlangsung hingga 31 Desember 2006 yang kemudian mata uang lei lama ditarik dari peredaran. Meskipun begitu, mata uang lei lama tetap dapat ditukarkan di bank tanpa ada batasan waktu
Sejak tahun 2002, nilai mata uang leu stabil dan dikenal sebagai simbol meningkatnya stabilitas ekonomi Romania.
Syarat Suksesnya Redenominasi
Sebenarnya apa syarat agar redenominasi yang diberlakukan bisa sukses?
Menurut Erwin dan Putu dalam artikel ilmiah yang berjudul Redenomination: Why is It Effective in One Country but not in Another? (2017), berhasil tidaknya penerapan redenominasi bergantung pada stabilitas politik dan pemerintahan yang efektif di suatu negara.
Di sebuah negara dengan keefektifan pemerintah yang tinggi, redenominasi dapat mengurangi tingkat inflasi lebih efektif dibandingkan dengan negara dengan keefektifan pemerintah yang rendah.
Kemudian, ketika sebuah negara memiliki stabilitas politik yang tinggi, hal ini dapat meningkatkan pendapatan per kapita negara tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan negara dengan stabilitas politik yang rendah.
Kedua hal ini tentu saja patut untuk diperhatikan ketika Indonesia menerapkan redenominasi nanti.
Tak ketinggalan pula, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lianto dan Surya dalam artikel ilmiah dengan judul The impact of redenomination in Indonesia from Indonesian citizens’ perspective (2012), tingginya dukungan dari masyarakat untuk terlaksananya redenominasi juga merupakan salah faktor penting yang bisa mendorong suksesnya redenominasi suatu negara.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News