melacak jejak tuan tanah seperempat batavia kekayaan fantastis mayor jantje keturunan budak yang dimuliakan kolonial - News | Good News From Indonesia 2025

Melacak Jejak 'Tuan Tanah Seperempat Batavia': Kekayaan Fantastis Mayor Jantje, Keturunan Budak yang Dimuliakan Kolonial

Melacak Jejak 'Tuan Tanah Seperempat Batavia': Kekayaan Fantastis Mayor Jantje, Keturunan Budak yang Dimuliakan Kolonial
images info

Melacak Jejak 'Tuan Tanah Seperempat Batavia': Kekayaan Fantastis Mayor Jantje, Keturunan Budak yang Dimuliakan Kolonial


Agustijn Michielsz (1769-1833) atau terkenal dengan julukan Mayor Jantje adalah seorang tuan tanah kaya raya di Batavia. Hal yang menarik adalah Mayor Jantje merupakan keturunan budak yang dimerdekakan oleh VOC.

Pada kurun niaga (1400-1700), perbudakan adalah hal yang normal di Hindia Belanda. Golongan Eropa hingga raja-raja Jawa mendapatkan keuntungan dari jual beli budak untuk bekerja di perkebunan.

Pada awal abad ke-17, VOC memerdekakan budak yang mereka milik. Kelompok yang kelak disebut Mardijkers ini kemudian dibaptis menjadi Kristen. Salah satunya adalah Signora Dehan atau dikenal sebagai Titus van Bengalen.

“Sesudah dibaptis Titus dari Benggala ini menjadi warga bebas dengan nama baru Titus Michielsz - mengadopsi nama saksinya,” tulis Lembar-lembar Perbudakan di Batavia yang ditulis oleh Tempo.

Titus kemudian kawin dengan seorang gadis Indo, Martha Pieters. Berasal dari pernikahan ini, keturunan Michielsz mendapatkan kesempatan untuk menumpuk kekayaan. Agustijn Michielsz jadi keturunan keluarga ini yang terkenal sebagai tuan tanah.

“Dia ini seorang tuan tanah yang kaya raya. Tanahnya meliputi seperempat Keresidenan Batavia. Agustijn dikenal dengan panggilan Majoor Jantje,” jelasnya.

Kekayaan Majoor Jantje

Majoor Janjte mempunyai sebuah rumah besar yang megah dan mewah di Semper Idem di pinggiran Batavia. Walau dibeli sangat mahal, dia tidak betah tinggal di rumah mewah bergaya Eropa ini karena lebih sering berada di Citeureup dengan pelayanan 160 budak.

Majoor Tjanjte biasa menjamu pembesar-pembesar dengan acara-acara eksotis. Para pembesar Eropa ini begitu terkesan dengan acara yang diadakan oleh Majoor Tjanjte, seperti ngibing yaitu para tamu bergantian menari dengan budak-budak perempuan.

Ada juga orkes untuk mengiri tarian itu, tentunya bukan dari Eropa melainkan para budak. Alat musik yang digunakan tak mengikuti kamus orkestra mana pun, Tetapi eksperimen bunyi dengan ketentuan asal bisa ramai.

“Dari cerita-cerita Betawi, banyak yang menduga, inilah asal muasal musik Tanjidor yang menjadi sangat populer pada awal abad ke-19,” jelasnya.

Pejabat tinggi VOC selalu hadir

Majoor Jantje terkenal pandai bergaul dan menyervis para penguasa, sehingga karirnya terus menanjak. Bahkan komisaris jenderal VOC berkenan datang ke Pesanggrahannya di Citeurup untuk menikmati layanan dari Majoor Janjte.

“Satu generasi sebelumnya hal itu tak mungkin terjadi karena Mardijkers kendati sudah kaya raya tetap saja dianggap rendah oleh penguasa kolonial kulit putih. Mereka, kata para orang kulit putih, walaupun menggunakan pakaian yang mahal-mahal - kemeja berenda dengan pantolan yang berlimpit - tetap saja norak,” ucapnya.

Walau kerap mengejek para Mardijkers, para penguasa terbilang mempunyai kepentingan bersahabat dengan Majoor Jantje. Hal ini tidak lain karena Janjtje adalah komandan kompi Papangers, pasukan bela diri buatan Kompeni.yang disebut Schutterij.

Pasukan ini terdiri dari berbagai divisi yang diisi oleh orang-orang dari Bugis, Makassar, Jawa dan Bali. Di antara divisi-divisi ini, pasukan Majoor Jantje tampaknya yang paling terkenal karena bisa menjamin keselamatan.

“Para Schutterij inilah yang maju, sementara para opsir Belanda yang disebut Pennist ongkang-ongkang saja di garis belakang - berdalih menyusun strategi, padahal perang di masa itu yang bergaya perang ketoprak mana perlu strategi.”

Jantje lebih suka menggunakan pangkat majoor. Pangkat ini bukan kepangkatan dalam militer, tetapi kepangkatan dalam masyarakat yaitu kepala masyarakat Mardijker. Pengikut Janjte ini tercatat sebagai warga bebas bukan budak.

“Hal yang bisa dilihat adalah pengikut Janjte ini diperbolehkan untuk mempunyai budak. Tetapi pada kenyataanya Mardijkers ini tetap saja dianggap warga negara kelas dua.”

Agustijn Michielsz menulis surat wasiat sebelum meninggal dunia pada 1833. Pada surat wasiat itu, dia meminta agar budak-budaknya dibebaskan. Tetapi keluarganya berkehendak lain, dalam sebuah koran terlihat mereka malah menjual 75 budaknya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.