Beberapa bulan lalu, tepatnya April 2025, harga emas mencatatkan rekor tertinggi sepanjang masa. Emas Antam tembus Rp1.960.000 per gram. Banyak orang berduyun-duyun ke Butik Antam dan toko-toko emas untuk membeli.
Saking ramainya, antrean sampai panjang setiap hari, padahal ada pembatasan kuota pembelian. Mau beli, tetapi mengapa tidak boleh? Bukan tidak boleh—stoknya memang tidak ada.
Setelah itu, harga emas dunia sempat terkoreksi cukup dalam. Anehnya, justru saat itulah orang-orang tidak lagi mengejar emas. Lalu pada 15 Oktober 2025, emas kembali mencetak rekor tertinggi, mencapai Rp2.487.000 per gram untuk emas Antam. Sejak akhir September hingga Oktober 2025, tren kenaikannya memang cukup tajam.
Kejadian itu berulang lagi. Orang-orang kembali berburu emas, tetapi kali ini sebagian beralih ke emas digital. Banyak yang membuka akun investasi emas, baik melalui Tring! by Pegadaian, Indogold, Pluang, Lakuemas, maupun Treasury.
Fenomena FOMO ini bukan cuma terjadi pada emas. Coba bayangkan ketika teman-teman kita trading saham dan membagikan uang berlipat-lipat—5 juta, 10 juta, atau bahkan ratusan juta. Siapa yang tidak tergoda? Kita tiba-tiba ingin ikut trading saham, bahkan langsung membeli saham tertentu tanpa analisis memadai.
Padahal, kita tidak tahu sudah berapa lama teman kita belajar tentang saham. Kita tidak tahu ia membeli di harga berapa. Bisa jadi mereka membeli saat harga sangat rendah karena menilai sahamnya punya potensi terbang. Begitu kita ikut membeli, eh harganya justru sedang di puncak. Alih-alih untung, kita malah rugi.
Skill membaca laporan keuangan, mengikuti berita emiten, hingga memahami tren pasar jelas diperlukan. Emiten di Indonesia ada lebih dari 900. Tidak mungkin membaca semuanya. Kita perlu memilah mana yang prospektif jangka panjang dan mana yang rutin membagikan dividen.
Maka, sebenarnya tidak ada istilah "main saham". Saham itu bukan barang mainan, hehe.
Hal yang sama terjadi pada crypto. Pasarnya 24 jam non-stop, dengan fluktuasi yang terkadang ekstrem. Beberapa koin besar seperti Bitcoin dan Ethereum memang cenderung lebih stabil, tetapi tetap bisa jatuh dalam.
Saat berita Bitcoin menyentuh ATH (All Time High), barulah banyak orang melirik—meski harganya sedang di pucuk. Mau ikut cuan, takut ketinggalan. Padahal keputusan itu sering terlambat.
Terbukti beberapa hari terakhir, puncaknya 18 November 2025, Bitcoin sempat koreksi dalam hingga 90.000 USD, tetapi justru anak muda tidak ramai membelinya.
Fenomena seperti ini dikenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out)—kecemasan karena takut tertinggal sesuatu yang sedang tren. Media sosial sering memicunya, membuat seseorang merasa cemas, iri, atau tidak puas melihat orang lain menikmati pengalaman atau keuntungan.
Saat harga emas tinggi, orang yang sudah membeli sejak lama biasanya bercerita betapa besar kenaikannya. Kita pun jadi ingin ikut merasakan cuan yang sama. Begitu pula ketika saham atau crypto sedang naik tajam; rasa takut tertinggal membuat banyak orang membeli di harga puncak.
Padahal FOMO tidak selalu buruk jika diarahkan dengan tepat. FOMO dalam investasi bisa jadi baik apabila diiringi semangat belajar. Setidaknya ketika gagal, kita tahu penyebabnya dan dapat antisipasi di masa depan.
FOMO juga bisa diarahkan untuk membangun kebiasaan berinvestasi. Orang yang jarang berinvestasi biasanya kesulitan mengalokasikan uangnya—terlanjur terbiasa belanja ini-itu.
Apalagi jika belum paham instrumen investasi. Alih-alih memulai, yang muncul justru ketakutan: takut uang hilang, takut penipuan, takut judi, takut haram.
Ironisnya, banyak orang ingin kaya tetapi tidak mau belajar tentang investasi. Sudah diberi tahu mana instrumen yang aman, masih saja takut. Belajar sendiri tidak mau, dikasih tahu juga tidak mau. Lucunya, tetap ingin uangnya diinvestasikan dan hasilnya besar.
Kita juga sering terjebak oleh pendapat orang-orang yang sama-sama tidak paham. Mereka bilang, “Jangan investasi saham, haram.” “Jangan beli emas digital, haram.” “Crypto itu judi.” Setiap hari kita mendengar itu, sampai akhirnya kita hanya jadi penonton keberhasilan orang lain. Ketika orang lain update status “Alhamdulillah cuan, naik banyak!”, kita masih belum melakukan apa-apa.
Karena itu, mari kita mulai dengan investasi leher ke atas. Apa maksudnya? Investasi leher ke atas adalah investasi pengembangan diri: menambah ilmu melalui kelas atau buku, belajar langsung dengan ahlinya, mengasah keterampilan, membangun pola pikir positif, dan memperluas wawasan. Intinya meningkatkan kapasitas diri agar lebih siap menghadapi masa depan.
Kalau kita sudah paham instrumen investasi, cara kerjanya, dan risikonya, kita akan lebih bijak memilih instrumen sesuai profil risiko masing-masing. Kita pun bisa menilai aplikasi mana yang aman, apakah sudah berizin dan diawasi OJK atau Bappebti.
Kemajuan teknologi seharusnya membuat investasi makin mudah. Semua bisa dilakukan lewat smartphone: buka akun, beli, jual, sampai tarik saldo. Kalau masih ada yang bilang haram atau penipuan, jangan langsung percaya—cari tahu dulu dan pelajari. Jangan malas.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News