Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sudah resmi dibentuk dan dilantik oleh Presiden Prabowo sejak 7 November 2025 lalu. Terdapat 10 figur penting yang masuk ke dalam tim reformasi tersebut, termasuk salah satunya mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD.
Pembentukan komisi itu bertujuan untuk mempercepat upaya reformasi kelembagaan, profesionalisme, dan tata kelola di tubuh Polri. Banyak tugas yang diemban oleh tim reformasi kepolisian yang tidak hanya berkaitan dengan aspek kelembagaan, tetapi juga persoalan dasar pada sistem seleksi kepemimpinan di tingkat elite.
Saat ini, tingkat kepercayaan publik terhadap institusi tersebut memang menurun. Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Isnaini Mualidin, S.IP., M.P.A., mengatakan bahwa akar masalah dari turunnya kepercayaan masyarakat pada Polri adalah akibat praktik pemanfaatan Polri sebagai alat kepentingan politik kekuasaan.
“Polri dijadikan alat kepentingan politik kekuasaan. Ini yang menimbulkan kecemasan besar di masyarakat,” papar Isnaini melalui situs UMY.
PR Besar Komisi Percepatan Reformasi Polri
Menurut Isnaini, ada dua faktor penyebab perilaku menyimpang di tubuh kepolisian Indonesia muncul, yakni akibat kewenangan lembaga yang terlalu besar dan sistem seleksi elite yang tidak berbasis meritokrasi. Alih-alih memberi jabatan pada orang yang dianggap berkompeten, Isnaini mengatakan jika sistem seleksi di kepolisian justru ditentukan lewat kekuasaan dan kedekatan politik.
Hasilnya, Polri seperti kehilangan arah. Bahkan, Isnaini mencontohkan bagaimana Polri acap kali dijadikan instrumen untuk meredam oposisi.
Melihat hal ini, pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri bak jadi angin segar. Namun, ia menyebut, ada dua pekerjaan rumah besar yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Tugas tersebut adalah melakukan perubahan mendasar atau revisi pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian serta reformasi sistem seleksi kepemimpinan agar tetap berorientasi pada integritas, profesionalisme, dan kinerja, bukan kedekatan politik.
“Dua hal itu yang harus dievaluasi secara menyeluruh. Kelembagaan yang kewenangannya terlalu luas dan sistem seleksi kepemimpinan yang masih didominasi kedekatan dan relasi kekuasaan,” jelasnya dosen dengan bidang keahlian kelembagaan pemerintahan tersebut.
Lebih lanjut, tugas besar tim reformasi bentukan Prabowo itu adalah untuk mengembalikan paradigma Polri sebagai polisi sipil yang fokus pada penegakan hukum kriminal, menjaga ketertiban masyarakat, dan menangani kejahatan siber. Isnaini menegaskan, institusi itu bukanlah pemain politik atau lembaga yang mempertahankan fungsi pertahanan, karena fungsi tersebut seharusnya merupakan tanggung jawab militer.
Isnaini mengatakan bahwa komposisi tim reformasi juga cukup ideal karena diisi oleh tokoh yang berintegritas, seperti Jimly Asshiddqie dan Mahfud MD yang merupakan akademisi hukum. Jimly sendiri juga bertindak sebagai ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri.
Selain dua sosok tersebut, anggota tim reformasi lainnya adalah Ahmad Dofiri, Yusril Ihza Mahendra, Supratman Andi Agtas, Otto Hasibuan, Listyo Sigit Prabowo, Tito Karnavian, Idham Azis, dan Badrodin Haiti.
“Tim ini cukup ideal untuk bergerak cepat. Ada menteri-menteri yang saya kira berintegritas. Yang terpenting, mereka mampu mengubah paradigma kepolisian yang semi-militer menjadi polisi sipil. Polri harus ditarik kembali menjadi institusi yang benar-benar civilian,” pungkasnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News