Oleh: Ari J. Palawi
Musisi dan Akademisi Seni Aceh
Setiap kali sebuah acara musik diumumkan di Aceh, reaksi publik nyaris dapat ditebak: protes, kecemasan moral, hingga pembatalan. Kasus konser Dewa 19 di Lhokseumawe baru-baru ini bukan pengecualian, melainkan pola berulang (AJNN, 12 November 2025). Syariat kembali dijadikan batas terakhir untuk menilai pantas-tidaknya bunyi diperdengarkan di ruang publik. Namun ketika saya mencermati ulang perdebatan ini, terutama melalui penelitian saya tentang musik dan syariat di Banda Aceh (Palawi, Implementasi Syariat Islam dalam Program Penyiaran Musik dan Nyanyian…, 2004), terlihat jelas bahwa persoalannya jauh lebih rumit daripada sekadar “musik haram” atau “acara maksiat”.
Dalam penelitian itu, radio-radio lokal tetap menyiarkan musik pop, dangdut, jazz, keroncong, hingga musik daerah. Tidak ada tentangan berarti, selama tidak menampilkan konten yang dianggap berlebihan atau melanggar etika publik. Artinya, musik pada dasarnya bukan masalah di Aceh; yang diperdebatkan adalah bentuk kerumunan dan ekspresi publik yang dianggap rawan ketika dibungkus format konser modern.
Ironisnya, penolakan terhadap konser-konser ini muncul bersamaan dengan ritual lain yang justru berlangsung dengan megah: festival budaya, perayaan institusi, hingga acara hiburan internal yang digelar oleh lembaga pemerintahan sendiri. Inilah ketidakseimbangan yang perlu disorot: standar moral tidak boleh berubah hanya karena berubahnya panggung.
Di Mana Syariat Ditempatkan dalam Perdebatan Musik?
Baca Selengkapnya