Kawan pasti sudah tidak asing lagi dengan sagu. Sumber karbohidrat pengganti nasi ini telah menjadi sumber pangan tertua yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia lho!
Selain itu, sagu pun merupakan salah satu sumber pangan yang tak bisa lepas dari kehidupan masyarakat di wilayah Indonesia Timur, seperti Papua.
Di mana selain menjadi sumber makanan pokok, sagu juga dimanfaatkan sebagai identitas budaya hingga digunakan sebagai pembatas wilayah suku-suku yang ada di Papua.
Lalu, apa saja sih peran sagu dalam kehidupan masyarakat Papua? Yuk, simak selengkapnya di bawah ini ya, Kawan!
Sagu sebagai Sumber Pangan Masyarakat Papua
Masyarakat Papua telah mengkonsumsi sagu sejak zaman dahulu kala, bahkan melansir dari laman mongabay.co.id, menurut Hari Suroto selaku Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN memperkirakan masyarakat Papua sudah mengkonsumsi sagu sejak 50 ribu tahun lalu.
Terdapat banyak sekali artefak bersejarah yang membuktikan perkiraan tersebut, seperti ditemukannya gerabah, batu penokok sagu, dan forna untuk membakar sagu di berbagai situs hunian prasejarah Papua.
Selain faktor historis, faktor geografis pun menjadi alasan mengapa masyarakat Papua memanfaatkan sagu sebagai bahan pangan pokok. Pasalnya tanah Papua memiliki banyak sekali sungai dan rawa yang jelas bukan merupakan lahan ideal untuk menanam padi.
Meskipun ada juga beberapa wilayah yang bisa ditanami padi. Namun, jumlahnya berbanding jauh dengan pohon sagu yang dapat tumbuh di segala tempat di Papua, khususnya di lahan-lahan basah.
Pohon sagu yang dapat dengan mudah tumbuh di kondisi alam dan geografis Papua, ditambah dengan kandungan karbohidratnya yang justru lebih baik dari nasi karena tidak mengandung glukosa, membuat masyarakat Papua lebih memilih mengkonsumsi sagu ketimbang beras.
Selain dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat, sagu juga bisa menjadi sumber protein. Batang sagu yang ditebang dan dibiarkan di ladang selama beberapa minggu akan menghasilkan apatar, sebutan masyarakat Sorong Selatan untuk larva kumbang sagu (Rhynchophorus papuanus) yang kaya akan protein. (Arif, 2019:49)
Di Papua sendiri, sagu dapat diolah menjadi menjadi beraneka ragam makanan tradisional yang lezat dan pastinya sarat akan makna budaya. Menariknya, masing-masing suku memiliki teknik pengolahan sagu yang berbeda sehingga menghasilkan cita rasa dan tekstur yang khas, serta merepresentasikan dari tiap suku tersebut. Lalu, sagu dapat diolah menjadi apa saja sih?
Ada papeda yang bertekstur kenyal, lengket, dan menyerupai gel. Selain itu, papeda juga memiliki rasa yang cenderung tawar sehingga cocok dimakan dengan ikan kuah kuning yang memiliki rasa asin, asam, dan pedas.
Selanjutnya, Kawan juga bisa menjajal hidangan yang bernama sagu lempeng (forna). Berbeda dengan papeda, sagu lempeng merupakan sebuah kue kering yang bisa langsung dimakan setelah mencelupkannya pada teh, kopi, atau kuah ikan.
Sagu lempeng memiliki bentuk, ukuran, dan warna yang sangat bervariasi, tergantung alat pencetak dan cara memasaknya. Namun umumnya, bentuk sagu lempeng itu adalah pipih dan empat persegi panjang.
Selain itu, terdapat juga hidangan sagu yang tak kalah menariknya, yaitu sagu lempeng gula merah (sagu gula).
Olahan sagu yang satu ini, berbahan aci sagu yang basah atau setengah kering lalu dihancurkan hingga halus. Seperti namanya, sagu ini harus diberikan tambahan bahan, yaitu gula merah dan sagu gula ini lebih lezat dinikmati pada saat masih panas, hangat, dan kenyal.
Budaya Sagu dalam Keseharian Masyarakat Papua
Jika kita menelaah lebih mendalam, sagu tidak hanya dijadikan sumber pangan bagi mereka. Sagu telah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan bagi masyarakat Papua.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Papua memegang erat nilai-nilai dari para leluhur dan warisan budayanya.
Hal ini terlihat dari, bagaimana cara mereka dalam mengambil sagu dari pohonnya. Yakni dengan melakukan berbagai macam ritual adat yang mengiringi setiap proses pemotongan pohon sagu.
Ritual-ritual adat yang dilakukan ketika memotong dan mengolah sagu meliputi meminta izin ketika menebang pohon sagu, membersihkan semak belukar yang ada di sekitar pohon sagu, penokokan, pemangkuran, hingga siap dihidangkan dalam bentuk aneka ragam sajian kuliner.
Tak hanya itu, sagu juga merupakan komponen penting dalam berlangsungnya sebuah upacara adat, misalnya seperti di suku Marori di mana sagu merupakan sebuah kelengkapan yang wajib dipenuhi demi menyempurnakan sebuah ritual adat.
Etnis Marori menggunakan sagu sebagai bahan persembahan untuk melangsungkan berbagai macam ritual, mulai dari lamaran, tindik telinga, lahiran, menyambut tamu, dan lain sebagainya.
Selain menjadi komponen utama dalam berbagai macam ritual adat, eksistensi sagu juga nyatanya sudah mengakar jauh dalam kehidupan masyarakat Papua. Ini dibuktikan dengan banyaknya cerita rakyat yang sangat erat kaitanya dengan pohon sagu.
Menjaga Warisan Sagu di Bumi Papua
Sagu merupakan sumber kehidupan yang harus dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Tidak hanya dijadikan sebagai sumber makanan yang kaya akan manfaatnya. Namun, juga sebagai identitas kebudayaan yang sangat disayangkan jika hilang begitu saja tertelan oleh zaman.
Pergeseran konsumsi dari sagu menjadi beras juga menjadi suatu ancaman tersendiri terhadap eksistensi sagu sebagai sumber pangan utama di Papua yang akan berdampak pada hilangnya beberapa kebudayaan yang berkaitan dengan pohon sagu.
Kimura & Sasaki (2022) menjelaskan bahwa tergantikannya sagu menjadi nasi sebagai sumber pangan pokok akan berdampak pada hilangnya kebudayaan, sejarah, hingga ritual-ritual yang terkait dengan eksistensi pohon sagu.
Oleh karena itu, perlu adanya perhatian khusus dari masyarakat dan juga pemerintah untuk tetap memberdayakan tanaman yang telah menjadi sumber pangan pokok tertua di Indonesia ini agar nilai-nilai kebudayaannya tidak hilang.
Selain menjaga dan melestarikan kebudayaan lokal, pemberdayaan pohon sagu juga dapat mendongkrak perekonomian daerah karena produk olahan sagu memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.
Bahkan, pemberdayaan pohon sagu juga bisa dimanfaatkan untuk menarik wisatawan asing untuk datang dan mempelajari kebudayaan di Papua lho! Melihat hal ini, penting bagi kita semua untuk saling bergotong-royong dan bersatu dalam menjaga kelestarian pohon sagu.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News