Perbukitan Patiayam di Kabupaten Kudus dulunya merupakan kawasan hutan. Akan tetapi, pembalakan liar menyebabkan kawasan itu menjadi gundul dan gersang. Upaya memperbaiki kondisi ini pun mulai dilakukan; berjalan secara bertahap dan panjang.
Sejak 2006 berbagai pihak telah menanam pohon di lereng Muria dan Patiayam. Kemudian, pada 2018, PT Djarum bermitra dengan YKAN memperkenalkan pendekatan SIGAP, yakni Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan. Dalam hal ini, warga desa secara aktif dan sebagai pelaku utama untuk menjadi agen perubahan (agent of change).
SIGAP menempatkan petani sebagai pengambil keputusan. Cara itu membuat setiap desa memilih jenis tanaman yang sesuai dengan karakter lahan, cuaca, dan ekonomi mereka. Desa Gondoharum memutuskan untuk menanam mangga.
Awal Perubahan
Selama bertahun-tahun, warga Gondoharum menggantungkan hidup pada tanaman jagung. Akan tetapi, jagung membuat tanah makin tandus jika ditanam secara terus-menerus, tanpa rotasi tanaman, dan tanpa pengelolaan unsur hara yang memadai. Tanaman ini membutuhkan air dan unsur hara yang besar sehingga dalam jangka panjang memperparah kekeringan lahan perbukitan.
Oleh karena itu, dalam program SIGAP, warga Desa Gondoharum memilih menanam pohon mangga.
Perubahan dimulai ketika Mashuri, Ketua Kelompok Tani Wonorejo, menggerakkan warga untuk menanam pohon buah di lahan-lahan kritis. Ia harus mencari para penggerak desa agar warga ikut turun tangan.
“Saya harus mendapatkan setidaknya 20 local champion di desa saya untuk menggerakkan warga,” ucapnya, dikutip dari YKAN.
Langkah itu kemudian mendapat partisipasi dari masyarakat. Sebanyak 208 petani ikut merehabilitasi lahan seluas 122,5 hektare. Mereka memilih mangga sebagai tanaman utama karena cocok dengan kondisi tanah liat di Patiayam. Di beberapa bagian, mereka juga menanam petai dan alpukat. Keduanya merupakan jenis pohon yang akarnya mampu mengikat tanah dan memperbaiki struktur lahan.
Para petani mempertimbangkan enam kriteria sebelum menentukan bibit: kecocokan lahan dan cuaca, kemudahan perawatan, ketahanan terhadap hama, peluang penjualan, dan produktivitas.
“Di lingkungan kami… tanahnya tanah liat, sehingga untuk duren itu tidak cocok,” kata Mashuri.
Ia menambahkan bahwa dari segi perhitungan, mangga lebih murah ditanam dan bisa menghasilkan banyak.
2020: Tahun Ketika Pohon Mangga Mulai Mendominasi
Upaya penanaman mangga secara besar-besaran dimulai pada 2020. Di tahun-tahun setelahnya, mangga Gadung dan Kwijai menjadi varietas utama.
“Mangga saya Gadung dan Kwijai… kalau di pasar induk kalau kita ngirim di awal musim itu sampai Rp16 ribu per kilo. Kalau Kwijai malah sampai Rp25 ribu per kilo,” jelas Mashuri, dikutip dari Liputan6.

Mashuri, Ketua Kelompok Tani Wonorejo Desa Gondoharum
Saat ini terdapat sekitar 25 ribu pohon mangga yang tersebar di area kurang lebih 300 hektare. Tanaman itu dikelola 337 petani. Dalam satu musim panen, hasilnya bisa mencapai puluhan ton. Sebagian dijual ke pengepul besar dari luar daerah.
“Jual sampai juga ke Bandung,” katanya.
Namun keberhasilan ini belum sepenuhnya memuaskan petani. Mashuri mengakui bahwa pihaknya masih terkendala kemampuan teknis.
“Kelompok tani kami ini tidak bisa mengupayakan supaya mangga berbuah maksimal. Karena persoalan Sumber Daya Manusia,” ujarnya.
Ia berharap ada dukungan dari pemerintah daerah untuk peningkatan kapasitas petani.
Mashuri sendiri berharap kawasan Patiayam kelak menjadi sentra mangga terbesar se-Jawa Tengah.
“Ya itu harapan kami,” ucapnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News