Sejak zaman klasik, kerajaan-kerajaan di Nusantara juga mengalami rentetan bencana yang mengancam kelangsungan peradabannya. Berbagai upaya dilakukan oleh kerajaan itu untuk mengatasi bencana.
Kerajaan Kahuripan mencapai kemakmuran tidak lepas dari keberadaan Sungai Brantas. Sungai ini menghubungkan Kahuripan dengan sumber kemakmuran, baik melalui limpahan air yang mengaliri sawah-sawah untuk mengamankan pangan.
Karena itu Airlangga harus memulai pembangunan kerajaan dengan mengatasi banjir yang kerap menimpa akibat luapan kali Brantas. Usaha Airlangga untuk mengatasi hal tersebut tercatat mulai dari periode 1035 hingga 1042.
"Beberapa hal dia lakukan seperti pengairan irigasi dan mengatasi banjir adalah hal yang pertama dia lakukan," ucap Profesor Casparis.
Membaca Prasasti Kamalagyan
Prasasti Kamalagyan adalah contoh bagaimana pengambilan keputusan penguasa yang berkaitan dengan mitigasi bencana. Prasasti diperkirakan ditulis pada 1037 M pada masa pemerintahan Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan.
Prasasti yang terletak di Dusun Klagen, Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur ini menjelaskan mengenai pembangunan sebuah bendungan di Waringin Sapta oleh Raja Airlangga.
“Prasasti tersebut menjelaskan bahwasannya bendungan tersebut dibangun karena terjadi banjir akibat luapan sungai yang membanjiri persawahan,” tulis dalam buku Menyusuri Jejak Bencana di Jawa Timur terbitan BNPB.
Masyarakat sangat terbantu
Pada penggalan prasasti tersebut dijelaskan mengenai kebahagian penduduk usai pembangunan bendungan tersebut:
Samanunten ri hujun galuh, ikan anak thani sakawahan kadedetan sawahnya, atyanta sarwwasukha ni manahnya makantangka sawaha muwah sawahnya kabeh dan yang (berada) di hujun galuh
Para penduduk yang sawahnya (duhulu) terkena banjir akhirnya sangat senang hatinya karena sawah tempat menyebar bibit dan sawahnya semua (terbebas dari banjir).
tinabak hli nikang banawan amgat ring waringin sapta de sri maharaja, matanyan dawuhan sri maharaja parnnah nikan tambak rin warinin sapta
Anugerah (sri maharaja itu) ditambak di (bagian) hilir (dari) bangawan itu, diputus di waringin sapta oleh Sri Maharaja, Itulah sebabnya bendungan Sri Maharaja itu letak tambaknya di waringin sapta.
Goenawan A Sambodo mengungkapkan usai pembangunan bendungan di Waringin Sapta masyarakat sangat terbantu karena bisa membebaskan mereka dari banjir. Waringin Sapta diperkirakan adalah sebuah desa.
“Akibat dari kebijakan yang dilakukan Raja Airlangga masyarakat menjadi senang karena sawah masyarakat tidak terkena banjir,” ucapnya.
Membangun tiga bendungan
Siswanto dalam tulisan berjudul Identifikasi Penggunaan Lahan Berdasarkan Sumber Prasasti Abad ke-11 M di Jawa Timur mencatat ada tiga bendungan pada masa pemerintahan Raja Airlangga.
Bendungan pertama yaitu konstruksi bangunan melintang sungai yang bertujuan membendung air sungai, lalu dialirkan ke saluran pembagi. Kedua adalah bangunan pematang di sepanjang sungai dengan tujuan mencegah luapan air sungai. Sedangkan ketiga adalah kolam-kolam penampung air yang dibangun untuk irigasi.
Dijelaskan oleh Siswanto, cara ini terbukti berhasil. Raja Airlangga mampu mengatasi banjir sekaligus merawat sungai dengan bangunan bendungan. Setelah bendungan ini berdiri, pengelolaannya diserahkan kepada rakyat.
“Bahkan, sebelum wafat, sang raja berpesan agar bendungan itu dirawat,” jelasnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News