Tahukah kamu, setiap 3 Desember dunia memperingati International Day of Persons with Disabilities? Melalui peringatan Hari Penyandang Disabilitas Sedunia ini kita diajak untuk mengingat bahwa hingga saat ini masih banyak penyandang disabilitas yang harus menghadapi keterbatasan akses, termasuk dalam ruang-ruang yang seharusnya terbuka untuk semua, seperti layanan publik, pendidikan, hingga inovasi kesehatan.
Namun, di tengah berbagai keterbatasan itu, penyandang disabilitas tetap bisa mengambil peran penting dalam hal-hal positif. Salah satunya Maryo Andreas Saptenno.Putra Ambon yang besar di Papua ini kini menjadi bagian penting dari tim penelitian tentang tuberkulosis (TBC) yang diadakan oleh Pusat Kedokteran Tropis (PKT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Maryo saat ini berperan sebagai enumerator dalam studi TBScreen.AI, sebuah riset kolaboratif antara Indonesia dan Australia yang bertujuan memperkuat deteksi dini TBC dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Namun perjalanan Maryo untuk sampai di titik tersebut tidak mudah. Ia mengalami amputasi kaki kiri setelah kecelakaan pada 2021. Meski sempat terpuruk, ia bangkit dengan dukungan keluarga. “Keterbatasan bukanlah batasan untuk memberi makna bagi orang lain,” jelas Maryo yang menggunakan kaki palsu setelah amputasi tersebut.
Hari ini, sebagai enumerator studi TBScreen.AI, Maryo tak hanya mengumpulkan data. Partisipasinya dalam riset menjadi bukti bahwa riset yang inklusif bisa melahirkan dampak yang lebih adil bagi semua.
Riset TBScreen.AI dan Pentingnya Inklusi
TBC masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Berdasarkan Global TB Report 2024, Indonesia menempati posisi kedua di dunia dengan beban kasus TBC tertinggi setelah India. Diperkirakan terdapat 1.090.000 kasus TBC dengan 125.000 kematian setiap tahun, setara dengan sekitar 14 kematian setiap jamnya.
Pemerintah telah menggencarkan slogan TOSS TB (Temukan, Obati Sampai Sembuh) sebagai bagian dari strategi eliminasi TBC nasional. Penemuan kasus menjadi menjadi elemen kunci dan riset TBScreen.AI hadir sebagai salah satu langkah penting untuk memperkuat upaya deteksi dini dan mendukung percepatan eliminasi TBC di Indonesia.
Riset ini bertujuan mengembangkan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk membantu membaca foto rontgen dada, salah satu metode penting dalam proses diagnosis TBC.
Dengan teknologi AI yang tengah dikembangkan, deteksi dini TBC diharapkan bisa dilakukan dengan lebih cepat dan konsisten. “Teknologi ini akan terasa manfaatnya, terutama di wilayah yang kekurangan tenaga kesehatan,” jelas dr. Antonia Morita Iswari Saktiawati, Ph.D., peneliti utama TBScreen.AI.

dr. Antonia Morita Iswari Saktiawati, Ph.D, peneliti utama TBScreen.AI | Dok. Pusat Kedokteran Tropis UGM
Hal lain yang menarik dari riset ini adalah komitmennya terhadap GEDSI(Gender Equality, Disability, and Social Inclusion). Sejak awal, TBScreen.AI dirancang agar kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga bagian dari proses riset.
“Riset ini harus melibatkan banyak unsur,” jelas dr. Morita. “Jika tidak, AI yang dihasilkan menjadi AI yang bias, tidak akurat dan tidak bisa diterapkan untuk semua orang”. Karenanya, hingga kini TBScreen.AI telah mengumpulkan ratusan data X-ray untuk pengembangan dan validasi model.
Ingin Terus Memberi Dampak
Bagi Maryo, bergabung dalam TBScreen.AI adalah kelanjutan dari pengabdian yang telah ia jalani jauh sebelum kecelakaan mengubah hidupnya. “Dulu, selama 3,5 tahun saya bekerja di pedalaman Papua,” ungkap Maryo. Pada kurun waktu tersebut, Ia melayani masyarakat dalam pengobatan dan skrining TBC.
Pengabdian itu kini berlanjut di TBScreen.AI. Meski begitu, awalnya Maryo ragu untuk bergabung. Sejak menjadi penyandang disabilitas, ia pernah memutuskan untuk resign. “Saya takut ditolak saat mencari pekerjaan baru,” ungkapnya. Menurutnya, banyak instansi yang mensyaratkan kondisi fisik yang “sehat dan bugar”.
Kini, di riset TBScreen.AI, Maryo mendapatkan ruang untuk berkontribusi tanpa dipandang sebelah mata karena keterbatasan fisiknya. Sebagai enumerator, ia harus aktif bergerak mengikuti responden sambil menjaga keseimbangan tubuh dengan kaki palsunya. Tantangan itu tidak membuatnya mundur. “Menggunakan kaki palsu di lapangan memang tidak mudah, tetapi justru melatih saya menjadi lebih kuat dan adaptif,” katanya.

Maryo Andreas Saptenno melakukan pengumpulan data dalam studi TBScreen.AI | Dok. Pusat Kedokteran Tropis UGM
Melalui perannya, Maryo berharap riset ini dapat mendorong layanan kesehatan yang lebih inklusif dan aksesibel bagi penyandang disabilitas. “Saya ingin terus memberi dampak melalui profesi saya,” ucap Maryo. Melalui tekadnya itu, Maryo menunjukkan bahwa kontribusi bisa datang dari siapa pun, asal diberi kesempatan.
Riset yang Lebih Adil Berkat Pelibatan Difabel
Keterlibatan Maryo dalam TBScreen.AI bukan hanya tentang membuka ruang bagi penyandang disabilitas untuk bekerja. Kehadirannya menunjukkan betapa pentingnya sudut pandang rekan disabilitas dalam penelitian kesehatan. Perspektif penyandang disabilitas membantu tim memahami tantangan nyata yang sering kali luput dari perhatian.
Pendekatan inklusif ini semakin kuat lewat kolaborasi dengan Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (PR YAKKUM). “Kami memfasilitasi peningkatan pemahaman dan kapasitas tim tentang GEDSI.” jelas Rita Triharyani, peneliti TBScreen.AI dari PR YAKKUM.

Rita Triharyani, peneliti TBScreen.AI dari PR YAKKUM | Dokumen pribadi
Menurut Rita, riset ini mampu mengarusutamakan inklusi disabilitas melalui partisipasi aktif penyandang disabilitas, penyediaan akomodasi yang layak, serta peningkatan kapasitas tim agar setiap tahap penelitian berjalan inklusif.
Pada momentum International Day of Persons with Disabilities ini, kisah Maryo dan ekosistem riset yang mendukungnya mengingatkan kita bahwa inklusi bukan hanya konsep, tetapi praktik yang harus diwujudkan.
Ketika penyandang disabilitas diberi ruang untuk terlibat penuh, pengetahuan yang lahir menjadi lebih adil dan teknologi yang tercipta menjadi lebih relevan. Dengan demikian, masa depan layanan kesehatan Indonesia menjadi lebih setara untuk semua.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News