Sitor Situmorang adalah salah satu sastrawan Indonesia yang menghasilkan banyak karya sastra. Ia dikenal sebagai penyair yang mampu menggabungkan pengalaman pribadi, pergolakan sejarah, dan pencarian jati diri dalam bahasa yang indah serta penuh makna.
Selama Indonesia merdeka, Sitor terjun ke dunia jurnalistik dan menjadi redaktur di beberapa media di Indoenesia. Selain itu, ia juga sempat dipenjara oleh Belanda. Lalu, bagaimana kisah hidup seorang Sitor Situmorang? Berikut biografi sang sastrawan.
Kehidupan dan Pendidikan Sitor Situmorang
Lahir pada 2 Oktober 1924 di Harianboho, sebuah desa di sekitar Danau Toba, Sitor tumbuh dalam keluarga pemangku adat yang memegang kuat tradisi Batak. Namun, sejak kecil, ia juga berkenalan dengan dunia modern melalui pendidikan Belanda yang ia tempuh.
Sitor Situmorang masuk Hollandsch-Inlandsche School(HIS) pada tahun 1931 di Balige. Ketika naik ke kelas 5, ia pindah ke Sibolga bersama kakak tertuanya yang menjadi pegawai di Sibolga.
Setelah menamatkan sekolah dasar di Sibolga, Sitor bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Tarutung pada 1938. Pada pertengahan tahun 1941, Sitor berangkat ke Batavia untuk bersekolah di Christelijke Middlebare Scholen (CMS).
Perjalanan Karier dan Karya Sitor Situmorang
Ketika Jepang menguasai Indonesia, situasi politik saat itu berubah. Sekolah Sitor terganggu dan cita-citanya menjadi ahli hukum pun terhenti. Ia mendapat kesempatan belajar ke Tokyo pada 1943 dan berangkat menimba ilmu di sana.
Sepulangnya ke Indonesia, Sitor bekerja di kantor keuangan Jepang di Sibolga, yang kemudian dipindahkan ke Tarutung karena situasi keamanan. Ia terus bekerja untuk pemerintahan Jepang hingga kekuasaannya berakhir. Pada 1945, Sitor menikah dengan seorang perempuan berpendidikan Belanda, putri seorang demang.
Setelah Indonesia merdeka, Sitor mulai terjun ke dunia jurnalistik. Ia menjadi redaktur Suara Nasional dan bekerja di Kantor Berita Antara. Ketika ditugaskan ke Yogyakarta pada 1947–1948, tulisannya mulai terbit seperti esai, kritik, dan sajak.
Pada masa inilah ia makin mantap menjadi penyair dan penulis. Namun, perjalanan kehidupannya tidak mulus. Saat pecah Agresi Militer Belanda II, Sitor sempat ditangkap oleh intelijen Belanda Netherland forces lntelligence Service(NEFIS) dan dipenjara di Yogyakarta pada 1948. Ia ditahan hingga 1949 ketika penyerahan kedaulatan RI.
Tahun 1950 menjadi titik penting dalam hidup Sitor. Ia berangkat ke Eropa atas undangan Stichting culture samen werking (Sticusa) atau Badan Kerja Sama Kebudayaan Belanda. Perjalanannya ke Eropa membuatnya berkenalan dengan pemikiran, sastra, dan budaya Eropa.
Sepulangnya ke Indonesia pada 1953, karya-karya awalnya langsung mendapat perhatian besar. Ia menerbitkan kumpulan puisi Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), dan Wajah Tak Bernama (1955); semuanya dianggap membawa gaya baru dalam sastra Indonesia masa itu
Sitor tidak hanya menulis puisi. Ia juga menulis drama Jalan Mutiara (1954) dan cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956). Kumpulan cerpen tersebut bahkan meraih Hadiah Sastra Nasional 1955/56 dari Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional (BMKN).
Selain itu, Sitor juga aktif menerjemahkan karya sastra dunia. Ia menerjemahkan karya John Wyndham, Arthur Rimbaud, Rabindranath Tagore, hingga esai-esai E. du Perron. Penerjemahan ini membuka pintu bagi pembaca Indonesia untuk mengenal karya sastra internasional.
Sedikit orang mengetahui bahwa Sitor juga berperan dalam sejarah perfilman Indonesia. Ia menulis cerita film Darah dan Doa (1950), yang disutradarai Usmar Ismail dan dikenal sebagai salah satu tonggak perfilman Indonesia.
Sitor juga aktif sebagai kritikus film, mengajar kritik film di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), dan sering diminta menjadi juri di berbagai festival film nasional maupun internasional
Di akhir 1950-an, Sitor mulai terlibat dalam dunia politik. Ia mendukung konsep Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno dan menjadi anggota Dewan Nasional, Dewan Perancang Nasional, hingga MPRS. Ia juga mendirikan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang berafiliasi dengan PNI.
Namun, kondisi politik Indonesia yang berubah pasca G30S membuatnya berada dalam posisi sulit. Ia dipenjara tanpa proses pengadilan selama 8 tahun. Masa ini menjadi periode paling kelam dalam hidupnya, tetapi juga memperkuat kualitas reflektif dalam karya-karyanya.
Setelah 8 tahun dipenjara, Sitor Situmorang kembali ke dunia sastra dengan gaya baru yang menandai fase penting dalam kariernya. Pada periode ini, ia menerbitkan sejumlah karya, seperti Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977) yang meraih Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976/1977.
Ia juga menghasilkan cerpen Danau Toba (1981), Angin Danau (1982), serta buku anak Gajah, Harimau dan Ikan (1981). Pada masa ini pula Sitor memperluas minatnya ke bidang sejarah dan antropologi lewat karya Guru Samalaing dan Modigliani “Utusan Raja Rom” (1993) dan Toba Na Sae (1993).
Ia juga menulis autobiografinya, Sitor Situmorang Seorang Sastrawan ’45 Penyair Danau Toba (1981), dan sempat mengajar di Universitas Leiden, Belanda.
Perjalanan kepenulisannya berlanjut dengan terbitnya kumpulan cerpen Salju di Paris (1994), disusul Kisah Surat dari Legian (2001). Seluruh cerpennya kemudian digabungkan dalam buku Ibu Pergi ke Surga (2011) terbitan Komunitas Bambu.
Karya Sitor banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa. Dalam bahasa Belanda, muncul Bloem op een rots dan Oude Tijger (1990) serta Lembah Kekal/Eeuwige Valley (2004). Dalam bahasa Inggris, terbit To Love, To Wonder (1996), sementara versi Prancis hadir lewat Paris la Nuit (2001).
Selain itu, karyanya juga diterjemahkan ke bahasa Mandarin, Italia, Jerman, Jepang, dan Rusia. Kedekatannya dengan Prancis begitu kuat, hingga pada 20 Maret 2003, ia menerima Hadiah Francophonie sebagai pengakuan atas perannya dalam memperkenalkan bahasa Prancis di Indonesia dan kontribusinya terhadap nilai-nilai keberagaman budaya, perdamaian, demokrasi, serta hak asasi manusia.
Sebagai penyair, Sitor tidak terpaku pada satu bahasa. Selain menulis dalam bahasa Indonesia, ia juga menulis puisi langsung dalam bahasa Belanda dan Inggris. Salah satu puisinya dalam bahasa Inggris, The Rites of The Bali Aga (2001), telah diterbitkan secara terpisah.
Pada 2004, ia merampungkan edisi baru Toba Na Sae dengan tambahan riset budaya Batak Toba, serta menerbitkan kumpulan puisi Biksu Tak Berjubah. Ia menjadi salah satu anggota Angkatan ’45 yang paling konsisten berkarya hingga menjelang wafatnya pada 20 Desember 2014.
Total puluhan karya yang sudah ia hasilkan dan beragam jenis, mulai dari puisi, cerpen, hingga film. Sitor Situmorang adalah salah satu tokoh sastra Indonesia yang hidupnya dinamis.
Ia pernah menjadi wartawan, penyair, pengajar, kritikus film, penerjemah, hingga tokoh politik. Semua pengalaman itu menjadikannya sosok yang unik dalam sejarah sastra Indonesia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News