Pernahkah Kawan berniat scrolling media sosial hanya sebentar, tapi kemudian tidak bisa berhenti sampai berjam-jam? Fenomena tersebut kini menjadi kebiasaan umum di kalangan remaja.
Banyak remaja menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk “melihat satu video lagi”, yang akhirnya mengganggu rutinitas harian, seperti belajar, tidur, dan interaksi sosial. Meski terlihat sepele, ternyata hal tersebut bisa menjadi masalah serius dalam dunia psikologi dan neurosains.
Kebiasaan seperti ini bukan sekadar penggunaan media sosial biasa, tetapi sudah mengarah pada adiksi perilaku, yaitu kondisi ketika seseorang tidak mampu mengendalikan dorongan untuk terus menggunakan media sosial meski terdapat berbagai dampak negatif.
Kebiasaan scrolling media sosial secara terus menerus—terutama dari konten berdurasi pendek—tidak hanya menghabiskan waktu, tetapi juga bisa mengubah cara otak bekerja dan memengaruhi perilaku sehari-hari.
Adiksi Scrolling Media Sosial dalam Perspektif Psikologi dan Neurosains
Secara psikologis, adiksi merupakan gangguan kronis yang ditandai oleh perilaku kompulsif, kesulitan menghentikan penggunaan meskipun menyadari dampak buruknya, serta munculnya gejala toleransi serta withdrawal.
Adiksi tidak hanya berkaitan dengan penggunaan zat seperti alkohol atau narkoba, tetapi juga perilaku tertentu, misalnya bermain game, berjudi, dan kebiasaan scrolling media sosial.
Dari perspektif neurosains, adiksi terjadi karena terganggunya sistem reward otak. Pada kondisi normal, sistem ini mendorong perilaku adaptif, seperti makan dan bersosialisasi. Namun, pada kondisi adiksi, perilaku tertentu memicu lonjakan dopamin yang tidak wajar.
Konten singkat dan cepat di media sosial memberikan dopamine hit atau lonjakan dopamin berulang setiap kali pengguna melihat konten yang menarik. Proses tersebut terjadi melalui jalur reward dengan tahapan sebagai berikut:
- Ventral Tegmental Area (VTA) melepaskan dopamin.
- Dopamin dikirim ke Nucleus Accumbens (NAc) yang menimbulkan rasa senang.
- Prefrontal Cortex (PFC) yang seharusnya mengontrol impuls menjadi lemah.
- Amygdala mengaitkan pengalaman tersebut sebagai sesuatu yang penting secara emosional dan sulit dilupakan.
Dalam jangka panjang, glutamat turut memperkuat jalur kebiasaan sehingga otak “mempelajari” perilaku adiktif tersebut. Akibatnya, aktivitas scrolling dapat terjadi secara otomatis, bahkan tanpa disadari.
Dampak Adiksi Scrolling Media Sosial bagi Remaja
Ketika scrolling media sosial terus berlangsung, terjadi perubahan pada sistem otak yang berdampak pada fungsi kognitif, perilaku sehari-hari, serta emosional dan interaksi sosial.
Dampak pada Fungsi Kognitif
Konten video singkat dan cepat membuat otak terbiasa menerima stimulus cepat sehingga tugas yang memerlukan konsentrasi lama, misal membaca atau belajar, menjadi terasa membosankan. Hal tersebut akhirnya menyebabkan seseorang memiliki impulsivitas lebih tinggi dan kontrol diri lebih rendah.
Dampak pada Perilaku dan Kebiasaan Sehari-hari
Adiksi scrolling media sosial menyebabkan remaja menghabiskan waktunya berjam-jam tanpa disadari. Hal tersebut kemudian berakhir pada penundaan aktivitas belajar, makan, bahkan tidur.
Dampak Emosional dan Sosial
Adiksi scrolling media sosial juga dapat memicu berbagai masalah emosional. Konten yang terus bergulir membuat remaja rentan membandingkan diri dengan orang lain sehingga memunculkan perasaan tidak cukup baik atau penurunan kepercayaan diri.
Dari sisi sosial, adiksi scrolling media sosial dapat membuat remaja lebih fokus pada interaksi digital dibandingkan berkomunikasi secara langsung sehingga hubungan pertemanan dan dinamika keluarga dapat terganggu.
Solusi untuk Mengatasi Adiksi Scrolling Media Sosial
Setelah memahami bagaimana adiksi scrolling media sosial dapat memengaruhi otak serta dampaknya terhadap fungsi kognitif, perilaku, dan emosi remaja, muncul pertanyaan penting: bagaimana cara mengatasinya?
Adiksi scrolling media sosial bukan sekadar kebiasaan buruk, tetapi pola yang diperkuat oleh sistem reward otak sehingga sulit dihentikan tanpa strategi yang tepat. Karena itu, butuh pendekatan yang tidak hanya menahan diri, tetapi juga membantu otak membentuk ulang kebiasaan baru yang lebih sehat.
Berikut beberapa solusi yang dapat diterapkan secara bertahap.
Buat Jadwal Penggunaan Media Sosial
Atur waktu khusus untuk mengecek media sosial, misalnya hanya 20 menit setelah pulang sekolah. Otak akan belajar bahwa waktu untuk menggunakan media sosial punya batasan, bukan dilakukan setiap kali muncul dorongan.
Atur Lingkungan agar Tidak Terus Memicu Scrolling Media Sosial
Letakkan ponsel jauh dari jangkauan saat belajar atau tidur, matikan notifikasi, atau gunakan mode fokus. Mengurangi pemicu eksternal membuat otak lebih mudah mengontrol impuls.
Ganti Kebiasaan Scrolling Media Sosial dengan Alternatif Sederhana
Setiap kali tangan ingin otomatis membuka media sosial, cobalah untuk ganti dengan aktivitas kecil, seperti minum air, berjalan 1 menit, atau membaca buku. Kebiasaan pengganti ini membantu membentuk kebiasaan baru yang lebih sehat.
Isi Waktu Luang dengan Aktivitas Dunia Nyata
Otak kita tentu tetap butuh dopamin. Oleh karena itu, cobalah untuk mengisi hari dengan kegiatan yang memberi kepuasan alami, seperti olahraga ringan, ngobrol dengan teman, menggambar, membaca, atau ikut organisasi.
Semakin banyak aktivitas nyata, semakin kecil kebutuhan otak mencari reward dari scrolling media sosial secara berlebihan.
Referensi:
- Dampak Media Sosial Tiktok pada Pengguna: Perspektif Neuropsikologi. (2024). Psikostudia Jurnal Psikologi, 13(3). https://doi.org/10.30872/psikostudia.v13i3
- Rodriguez, G. M. (2023). SCROLLING BEYOND CONTROL: A COMPREHENSIVE STUDY ON SYMPTOMS, PROGRESSION, AND RECOVERY FROM SOCIAL MEDIA ADDICTION. Hollex Journal of Multidisciplinary Research, 10(2), 1–13. Retrieved from https://hollexpub.org/J/index.php/28/article/view/531
- Wang, J. Y., Sukiennik, N., Piao, J., Pan, Z., Gao, C., & Li, Y. (2025). Can’t Stop Scrolling: Understanding the Online Behavioral Factors and Trends of Short-Video Addiction. Proceedings of the International AAAI Conference on Web and Social Media, 19(1), 2000-2016. https://doi.org/10.1609/icwsm.v19i1.35915
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News