Indonesia saat ini dinilai sedang berada di momen yang tepat untuk memimpin dan mengambil peran yang lebih besar dalam memandu arah diskusi global di Global South di tengah perubahan lanskap diplomasi global alias thought leader. Saat ini, transformasi ekosistem komunikasi internasional semakin kompetitif, sehingga menuntut negara-negara di dunia untuk mampu mengerahkan percakapan dunia melalui narasi dan pengelolaan opini publik yang strategis.
Direktur Informasi dan Media Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, Hartyo Harmoyo, dalam rilis resmi Kemlu RI menjelaskan, diplomasi Indonesia harus diperkuat melalui narasi, komunikasi strategis, soft power, dan peran diaspora di kancah global.
Dalam keterangannya, beberapa lembaga survei dunia menunjukkan kekurangan Indonesia dalam mengelola informasi dan media. Hal ini semakin kompleks karena dunia tengah berada dalam kondisi hyper informasi yang membuat arus informasi bergerak lebih cepat dibandingkan proses diplomasi tradisional.
Opini publik bisa terbentuk dalam hitungan detik saja. Sementara itu, persepsi turut dapat memengaruhi keputusan internasional, bahkan sebelum perundingan resmi dimulai.
“Sekarang Indonesia lagi berada di momen yang pas banget untuk tampil memimpin, mengarahkan pembahasan, dan jadi simbol penting bagi negara-negara Global South,” katanya.
Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?
Di tengah komplektivitas dunia saat ini, Indonesia diminta untuk dapat “merebut” perhatian global dan mengarahkan persepsi internasional. Selain itu, perlu dipastikan agar narasi nasional tidak tenggelam dalam noise informasi global.
Hartyo memaparkan, ada tiga modal strategis yang setidaknya sudah dimiliki Indonesia, yaitu posisi sebagai salah satu pemimpin Global South, keberadaan 132 perwakilan RI di luar negeri—lokasi terbanyaknya ada di kawasan Global South, dan rekam jejak kuat Indonesia yang rajin ikut serta dalam misi kemanusiaan internasional.
Lebih lanjut, demi mendongkrak pengaruh global Indonesia, terdapat beberapa hal yang harus diperkuat. Yang pertama adalah narasi dan komunikasi strategis yang solid dan konsisten.
Kemudian, perlu penguatan pada soft power nasional, seperti budaya, toleransi, dan solidaritas yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia selama ini. Terakhir adalah memperkuat peran diaspora Indonesia di luar negeri, termasuk para pekerja migran Indonesia.
Tiga hal itu menjadi fondasi dari Diplomasi Transformatif untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, berdaya, dan mendunia. Tak hanya itu, penguatan pada beberapa pilar itu turut menjadi pendukung untuk menuju visi Indonesia Emas 2045.
Lebih lanjut, Hartyo mengatakan bahwa diplomasi modern tidak lagi menjadi ranah ekslusif para diplomat. Publik secara luas, utamanya generasi muda, juga memiliki peran penting untuk membangun narasi positif tentang Indonesia.
Bukan hanya sekadar membuat konten dan mendapatkan banyak tanda suka, tetapi generasi muda dianggap memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik. Generasi muda juga dianggapnya memiliki peran sentral sebagai duta narasi positif bagi Indonesia dalam media sosial.
“Sekarang Indonesia lagi berada di momen yang pas banget untuk tampil memimpin, mengarahkan pembahasan, dan jadi simbol penting bagi negara-negara Global South,” pungkasnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News