Di era ketika “kecepatan” sering mengalahkan “makna”, Jurnaba meyakini bahwa Jurnalisme Kearifan Lokal jadi penyeimbang yang hadir sebagai pemelihara identitas budaya.
Jurnaba, media komunitas yang tumbuh dari semangat dokumentasi sosial, terus mengembangkan berbagai metode dokumentasi dan pengarsipan. Satu di antara metode itu adalah Jurnalisme Kearifan Lokal — pendekatan “dekolonisasi” yang bertujuan untuk memelihara dan memunculkan pengetahuan lokal.
Jurnaba aktif mengangkat dan membangun ekosistem Jurnalisme Kearifan Lokal, melalui berbagai tema riset dan narasi peliputan. Hal ini ditujukan untuk merawat dan mengawetkan ajaran luhur penuh kebijaksanaan, yang selama ini kurang mendapat tempat di tengah canggihnya mobilitas zaman.
Beberapa jejak karya Kearifan Lokal tersebut, terangkum dalam Dokumen Etnografi Keriskeloka yang disusun Tim Jurnaba dalam beberapa tahun terakhir. Selain mengarsip dokumen, Jurnaba juga menyusun kurikulum Jurnalisme Kearifan Lokal tersebut untuk diajarkan pada para pelajar, mahasiswa, ataupun umum.
Kurikulum Jurnalisme Lokal yang diusung Jurnaba, disusun dan dikembangkan melalui bimbingan sejumlah Empu Etnografi, di antaranya adalah Pak Roem Topatimasang, Pak Toto Rahardjo, dan Pak Noer Fauzi Rachman dari Kampus PerDikAn INSIST Jogjakarta, yang tak lain adalah para Pinisepuh Jurnaba.
Ada cukup banyak obat dan penyembuh luka modernitas yang masih tersimpan di dalam tradisi budaya. Di antara penyembuh luka itu, adalah metode mitigasi bencana dan keakraban terhadap alam. Begitu pesan para Pinisepuh Jurnaba yang memotivasi kami mengembangkan Jurnalisme Kearifan Lokal.
Bagi Jurnaba, Jurnalisme Kearifan Lokal menjadi metode penting untuk merawat, mengawetkan, dan memelihara perihal bijaksana dari sudut yang selama ini jarang dipublis media. Di antara ciri, misi, sekaligus tujuan utama dari Jurnalisme Kearifan Lokal yang diusung Jurnaba adalah sebagai berikut: