Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November 2025 kembali memaksa kita menatap kenyataan pahit tentang tata kelola ekologis yang rapuh. Bencana ini tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga memperlihatkan kegagalan kolektif mengelola ruang hidup.
Data per 8 Desember 2025 mencatat 926 korban meninggal, 272 orang hilang, serta lebih dari satu juta warga mengungsi. Skala kerusakan yang luas mengundang pertanyaan yang sulit dihindari: apakah ini murni bencana alam atau hasil kelalaian panjang yang diabaikan negara dan masyarakat.
Luka Besar di Tiga Provinsi
Aceh kehilangan 366 jiwa. Sumatera Utara mencatat 329 korban. Sumatera Barat 234 korban. Ribuan lainnya terluka dan masih berada di tenda-tenda pengungsian. Jalan terputus, ratusan jembatan hancur, jaringan listrik padam, fasilitas umum lumpuh. Hujan ekstrem hanya menjadi pemantik. Kerusakan ekologis yang berlangsung bertahun-tahun membuat daya dukung lingkungan kolaps dalam hitungan jam.
Bencana ini melenyapkan batas-batas administratif. Air yang jatuh di hulu tidak mengenal kabupaten. Degradasi di satu titik menjalar sebagai malapetaka bagi wilayah lain yang menjadi hilirnya.
Cuaca Ekstrem Tidak Berdiri Sendiri
BMKG menyebut kombinasi hujan sangat lebat, cuaca tak stabil, dan pengaruh Siklon Senyar sebagai pemicu. Namun fakta lapangan menunjukkan bahwa kawasan dengan tutupan vegetasi baik tidak mengalami kehancuran sebesar wilayah lain yang sudah lama kehilangan hutan.
Air yang turun dari langit tidak dapat dihalangi. Tetapi laju destruktifnya bergantung pada seberapa sehat bentang alam yang menerima air tersebut. Sungai yang meluap, tebing yang runtuh, dan aliran lumpur yang menyapu desa bukan hanya soal intensitas hujan, tetapi soal hilangnya fungsi ekologis DAS.
Deforestasi dan Alih Fungsi Lahan Memperparah Situasi
Dalam dua dekade terakhir, banyak wilayah hulu Sumatera mengalami eksploitasi ruang tanpa kendali. Perkebunan kelapa sawit terus merangsek naik ke lereng. Penebangan liar, tambang legal dan ilegal, serta pembangunan tanpa kajian risiko memperlemah struktur tanah.
Di beberapa lokasi, jejak deforestasi terlihat jelas sebagai pola kerusakan yang sejalan dengan jalur banjir bandang. Hulu DAS yang semestinya menjadi penyimpan air telah berubah menjadi lahan terbuka yang tidak mampu menahan limpasan.
Bencana tahun 2025 adalah cermin dari kerusakan ekologis yang terakumulasi lama dan tidak pernah direspons secara serius.
Respons Pemerintah dan Kontroversi Komunikasi Publik
Pemerintah bergerak cepat melalui BNPB, TNI, Polri, Basarnas, dan pemerintah daerah. Bantuan dikirim, helikopter dikerahkan, akses darurat dibuka, dan status tanggap darurat ditetapkan.
Namun komunikasi publik pemerintah sempat menimbulkan luka baru. Pernyataan awal BNPB yang menilai situasi terlihat parah hanya karena viral di media sosial memicu kemarahan warga terdampak. Ribuan keluarga kehilangan anggota keluarga, tetapi narasi yang disampaikan negara terasa jauh dari empati. Permintaan maaf yang muncul setelah kunjungan lapangan penting dicatat, tetapi kejadian ini menunjukkan perlunya reformasi komunikasi risiko dan sensitivitas institusi dalam situasi krisis.
Pola yang Berulang dan Tidak Pernah Ditangani
Sumatera bukan satu-satunya wilayah yang dilanda bencana akhir tahun ini. Papua Pegunungan, Jawa Barat, Brebes, Banjarnegara, dan Halmahera Timur mengalami hal serupa. Polanya konsisten. Hujan meningkat, daya dukung lingkungan melemah, dan kerusakan meluas.
Kita menyaksikan siklus yang berulang. Bencana datang, bantuan dikirim, janji evaluasi disampaikan, dan masyarakat kembali melanjutkan hidup di antara reruntuhan. Namun akar masalah tetap utuh.
Perlu Reorientasi Kebijakan Lingkungan
Jika negara ingin memutus siklus bencana, ada tiga agenda strategis yang tidak boleh ditunda.
Pertama, penegakan tata ruang harus menjadi prioritas absolut. Kawasan hulu, hutan lindung, dan daerah resapan air tidak boleh lagi menjadi ruang abu-abu bagi konsesi industri. Penegakan hukum perlu dilakukan tanpa kompromi.
Kedua, rehabilitasi ekosistem hulu harus dilakukan dengan pendekatan restorasi, bukan sekadar reboisasi simbolik. Pemulihan struktur tanah dan fungsi ekologis membutuhkan rencana jangka panjang yang melibatkan masyarakat lokal, bukan sekadar proyek jangka pendek.
Ketiga, kapasitas mitigasi dan peringatan dini di daerah harus diperkuat. Pemerintah daerah membutuhkan dukungan anggaran, teknologi spasial, serta pelatihan manajemen risiko agar mampu merespons bencana dengan cepat dan tepat.
Jangan Menormalisasi Tragedi
Bencana Sumatera 2025 bukan sekadar catatan sejarah kelam. Peristiwa ini adalah peringatan bahwa kerentanan ekologis telah mencapai titik kritis. Menyalahkan cuaca hanyalah cara mudah untuk menghindari persoalan sebenarnya.
Pertanyaannya sederhana: berapa banyak korban lagi yang diperlukan sebelum negara menempatkan perlindungan ekosistem sebagai fondasi pembangunan?
Tragedi ini tidak boleh didefinisikan sebagai takdir. Negara memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk melindungi rakyat. Penanganan pascabencana mungkin dapat meringankan luka, tetapi hanya tata kelola ruang yang tegas dan berani yang dapat mencegah bencana berikutnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News