mitigasi penataan hunian pascabencana di sumatra harus diperhatikan apa alasannya - News | Good News From Indonesia 2025

Mitigasi Penataan Hunian Pascabencana di Sumatra Harus Diperhatikan, Apa Alasannya?

Mitigasi Penataan Hunian Pascabencana di Sumatra Harus Diperhatikan, Apa Alasannya?
images info

Mitigasi Penataan Hunian Pascabencana di Sumatra Harus Diperhatikan, Apa Alasannya?


Bencana banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat menunjukkan tingginya kerentanan geologi wilayah yang semakin diperparah dengan kerusakan lingkungan serta perubahan iklim global yang semakin terasa. Kombinasi dua hal itu menjadikan bencana geo-hidrometeorologi di Sumatra semakin sering dan berdampak luas.

Melihat kondisi ini, kebijakan hunian sementara (Huntara) dan hunian tetap (Huntap) pascabencana di kawasan Sumatra harus betul-betul dirancang dengan serius untuk mencegah terulangnya bencana, bukan sekadar memulihkan kondisi sebelum bencana terjadi.

Guru Besar Teknik Geologi dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Prof. Dwikorita Karnawati, mengingatkan imbauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terkait potensi hujan yang masih akan berlangsung hingga bulan Maret dan April 2026. Artinya, risiko banjir bandang dan longsor susulan masih sangat tinggi.

Dwikorita mengatakan, kebijakan soal hunian bagi masyarakat pascabencana tidak boleh berhenti pada fase tanggap darurat, tetapi harus terintegrasi dalam rehabilitasi dan rekonstruksi jangka panjang, termasuk pemulihan lingkungan secara menyeluruh.

Zona Rawan yang “Mungkin” Akan Diterjang Bencana Kembali

Berbagai wilayah terdampak banjir besar Sumatra berada di kawasan kipas aluvial—bentang alam hasil endapan banjir bandang di masa lalu. Artinya, secara geologi, kawasan itu merupakan zona aktif yang menyimpan “memori” bencana dan tetap berpotensi terlanda kembali di masa depan (puluhan tahun).

“Jika kawasan ini kembali dijadikan hunian tetap, maka risiko bencana tidak dihilangkan, melainkan diwariskan kepada generasi berikutnya,” katanya di UGM.

Lebih lanjut, kerusakan lingkungan di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) turut mempercepat erosi dan meningkatkan volume material rombakan dan mungkin akan terbawa saat hujan ekstrem.

Kondisi ini mengkhawatirkan karena memperpendek periode ulang banjir bandang yang kini bisa saja terjadi dalam kurun waktu 15-20 tahun. Bahkan, Dwikorita menyatakan jika periode itu akan semakin singkat apabila tidak segera dilakukan pemulihan lingkungan.

baca juga

Membangun Hunian di Zona Aman

Wilayah-wilayah yang pernah dilanda banjir disebut Dwikorita sudah tidak layak untuk dijadikan lokasi hunian tetap, terutama untuk jangka panjang. Alih-alih dijadikan hunian, ia menilai bahwa daerah tersebut seharusnya ditetapkan sebagai zona merah yang dapat difungsikan sebagai kawasan konservasi dan rehabilitasi lingkungan.

Oleh karena itu, mantan Kepala BMKG tersebut merekomendasikan kawasan-kawasan yang sudah terdampak sebagai zona merah sekaligus dilarang untuk mendirikan hunian tetap. Ia menegaskan jika pembangunan hunian tetap harus diarahkan ke zona aman dan sudah ditetapkan berdasarkan pemetaan risiko geologi lingkungan.

Tak hanya itu, langkah tersebut juga harus dibarengi dengan pemulihan kerusakan lingkungan, terutama di wilayah hulu DAS, sebagai prasyarat utama agar potensi bencana serupa tidak akan terulang kembali. Zona aman yang dimaksud juga harus berada di luar bantaran sungai aktif, berjarak aman dari lereng curam, dan mempertimbangkan akses air baku serta layanan dasar lainnya.

Lalu, bagaimana dengan kawasan rawan?

Menurut Dwikorita, kawasan terseubt masih bisa dimanfaatkan sebagai hunian sementara. Namun, pembangunannya harus dengan batas waktu ketat dan bukan bersifat transisional sebagai hunian permanen—maksimal tiga tahun dengan syarat ketat.

Syarat-syarat yang dimaksud Dwikorita ialah tersedianya sistem peringatan dini yang andal, penyusunan dan pengujian rencana kedaruratan, penguatan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat, pembersihan material rombakan di wilayah hulu, penetapan zona penyangga jalur hijau, dan pembangunan tanggul sungai yang memadai dan berkelanjutan.

Mitigasi Penataan Hunian Masyarakat

Penataan hunian pascabencana menjadi keputusan strategis jangka panjang yang sangat menentukan keselamatan masyarakat, Kebijakan pembangunan hunian sementara dan hunian tetap pun harus didasarkan pada ilmu kebencanaan, mitigasi risiko, pemulihan lingkungan, dan tanggung jawab antargenerasi.

Hal ini penting, agar pemulihan bencana tidak hanya cepat, tetapi juga aman dan berkelanjutan, sehingga meminimalisir terjadinya bencana baru di masa depan.

“Jika pembangunan pascabencana mengabaikan karakter geologi dan memori bencana, maka pemulihan justru berpotensi menciptakan bencana baru di masa depan,” pungkasnya.

baca juga

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Firda Aulia Rachmasari lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Firda Aulia Rachmasari.

FA
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.