Kawan GNFI, apakah kalian tahu? Di sebuah sudut Kecamatan Rajapolah Tasikmalaya, suara angklung dan dog-dog masih terdengar akrab dari Kampung Cimande. Meski dunia bergerak begitu cepat, warga kampung ini masih menjaga satu tradisi lama yang konon katanya sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Kesenian itu bernama buncis.
Bagi masyarakat Cimande, buncis bukan hanya sekedar hiburan saja, tetapi identitas, kebanggaan, sekaligus pengikat kebersamaan.
Perkembangan Kesenian Buncis lewat Tradisi Lisan Masyarakat Cimande

Alat musik Buncis yang terdiri dari angklung dan dogdog. Dokumentasi Pribadi pada Sabtu, 15/11/2025
Sejarah kesenian buncis ini tidak tertulis dalam buku-buku besar, melainkan hidup melalui cerita-cerita yang diwariskan turun temurun. Menurut penuturan sesepuh dan para pemain buncis, kesenian ini sudah ada sejak 1935.
Alatnya sederhana, hanya aklung dan dog-dog. Dahulu ada terompet tetapi sudah rusak dan tidak digunakan lagi. Menurut penuturan Asep Purnama selaku koordinator dari kesenian ini menyatakan bahwa alat musik angklung masih asli dari tahun yang sama sejak buncis ada.
Kesenian ini digunakan dalam acara khitanan, syukuran maupun acara hiburan lain. Meskipun tidak ada catatan resmi, tetapi tradisi lisan inilah yang menegaskan bahwa buncis adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Kini, buncis tidak lagi tampil sesering masa keemasannya. Buncis hanya tampil pada saat arak-arakan Agustusan yang diadakan oleh pemerintah kecamatan.
Selain menjadi ruang berekspresi seni, perkembangan buncis juga terlihat dari fungsinya sebagai sarana mempererat hubungan sosial.
Latihan dan pementasan sering menjadi momen berkumpul warga lintas usia dan latar belakang. Obrolan ringan, canda, hingga diskusi soal kampung kerap muncul di sela-sela kegiatan buncis.
Bagi sebagian warga, kehadiran buncis memberi rasa memiliki terhadap kampung. Tradisi ini tidak hanya dipandang sebagai peninggalan masa lalu, tetapi juga sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang terus relevan.
Meski berlangsung secara sederhana dan swadaya, konsistensi masyarakat dalam menjaga buncis menunjukkan bahwa pelestarian budaya dapat tumbuh dari kesadaran bersama, bukan semata dari dukungan formal atau program besar.
Tantangan Pelestarian

Wawancara dengan warga dan para pemain Kesenian Buncis generasi sekarang. Dokumentasi Pribadi pada 15/11/2025
Tantangan utama yang dihadapi masyarakat adalah minimnya regenerasi. Anak-anak muda kini lebih banyak menghabiskan waktu dengan musik modern atau bekerja di luar kampung. Akibatnya, pemain buncis sebagian masih dari generasi tua.
Selain itu tantangannya adalah tidak adanya dukungan dana khusus dan kurangnya ruang tampil resmi. Pengaruh budaya populer juga menghadirkan tantangan tersendiri. Meski begitu, warga Cimande tetap optimis. Selama masih ada yang memukul dogdog dan menggoyangkan angklung, selama irama khas buncis masih menggama di antara rumah-rumah kampung, tradisi ini tidak akan hilang.
Dengan adanya tulisan ini besar harapannya buncis bisa dikenal di seluruh Indonesia bahkan ke mancanegara.
Keberadaan buncis di Kampung Cimande menunjukkan bahwa tradisi tidak selalu bertahan karena sorotan besar atau dukungan institusi, melainkan karena kesediaan masyarakat untuk terus merawatnya.
Setiap denting angklung dan tabuhan dogdog adalah pengingat akan nilai kebersamaan, gotong royong, dan identitas lokal yang hidup di tengah warga.
Di tengah tantangan zaman, buncis mengajarkan bahwa pelestarian budaya bukan sekadar menjaga bentuk, tetapi juga menjaga makna. Selama masih ada ruang bagi tradisi untuk hadir dalam kehidupan sehari-hari, buncis akan terus menemukan jalannya mengalun sederhana. Namun, penuh arti, sebagai warisan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan harapan masa depan masyarakat Cimande.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


