Indonesia mengalami rentetan bencana pada penghujung tahun 2025. Rentetan bencana ini menambah deretan energi pesimis kepada masyarakat yang mengalami tekanan dari sektor ekonomi hingga politik sepanjang tahun.
Tetapi di balik energi pesimis, masyarakat Indonesia ternyata juga masih mengandung jiwa-jiwa optimis. Hal ini tertuang dalam survei yang dilakukan oleh Good News From Indonesia (GNFI) pada tahun 2025 ini.
“Kita ada survei optimisme. Kalau kita survei orang Indonesia selalu ada rasa optimis. Kita tanya optimis ekonomi membaik di tahun depan? optimis. Optimis Timnas lawan Jepang? Optimis. Optimis gak emas SEA Games? Optimis. walau hasilnya sebaliknya,” jelas CEO Good News From Indonesia (GNFI) Wahyu Aji dalam Good Talk Off Air dengan tema Merespons Bencana dengan Tepat dan Empatik yang diadakan di Sasana Budaya Rumah Kita Dompet Dhuafa, Jakarta, Rabu (17/12/2025).
Aji menilai rasa optimis ini muncul bukan karena masyarakat Indonesia hanya ingin menyenangkan orang-orang. Tetapi, jelasnya muncul dari upaya untuk mengatasi masalah yang muncul di hadapan.
“Optimis itu bukan rasa optimis tapi lahir dari orang-orang yang mau mengatasi masalah. Berpikir keras bagaimana mengatasi pengangguran,” ucapnya.
Menanggapi hal tersebut GM Marketing Communication Dompet Dhuafa, Suci Nuzleni Qadarsih mengatakan bahwa komunikasi ketika dalam kondisi bencana bukan hanya harus tepat dan bertanggung jawab, namun juga penuh empati.
“Informasi bukan hanya harus tepat bertanggung jawab tetapi penuh empati,” ucapnya.
Aspek komunikasi ketika bencana
Pakar Komunikasi Bencana dan Dosen LSPR, Muhammad Hidayat mengutarakan komunikasi ketika bencana itu ada tiga tahapan yaitu sebelum bencana, ketika bencana hingga pasca bencana.
Tetapi, jelas Hidayat selama ini komunikasi bencana yang dilakukan oleh stakeholder hanya ramai saat bencana terjadi. Padahal ucap Hidayat, saat bencana akan terjadi kepanikan sehingga informasi tidak akan sampai dengan baik.
“Jangan sampai pas darurat baru stand by. Karena ketika darurat itu serba bingung serba panik,” tegasnya.
Karena itu bagi Hidayat merasa pentingnya kehadiran juru bicara saat adanya krisis khususnya bencana. Hal ini supaya setiap informasi yang keluar tidak berbeda antara satu instansi dengan instansi lainnya.
Dia juga berharap pemerintah lebih jujur saat menghadapi krisis, sehingga masyarakat tidak berharap pada harapan palsu. Karena itu, dirinya juga meminta tidak adanya jarak informasi di lapangan ke pemerintah pusat.
“Jangan sampai ketidakpastian tinggi kita malah kasih harapan. Kalau ada masalah di lapangan kita jujur aja. Kita sama-sama tahu di lapangan seperti apa,” jelasnya.
Pemerintah melawan realita
Hal menarik juga disampaikan oleh Ketua Disaster Crisis Center Dompet Dhuafa, Udhi Tri Kurniawan yang menilai pemerintah selama ini tidak hanya beroposisi dengan lawan politik, tetapi lebih banyak beroposisi kepada realita.
Dirinya menyoroti pernyataan-pernyataan pejabat pemerintah yang tidak sesuai dengan di lapangan, seperti listrik yang sudah menyala, bencana yang dianggap lebih menyeramkan di medsos hingga penanangan bencana yang dipuji oleh masyarakat dunia.
“Pemerintah itu beroposisi dengan realistis,” ucapnya.
Karena itu, dirinya tidak heran muncul kemarahan baik secara individu hingga kelompok. Apalagi melihat lambatnya respon pemerintah menghadapi kondisi pasca bencana di tiga daerah yaitu Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
“Pesan-pesan dari simbol grassroot yang muncul, pesimisme, kemarahan juga, di Aceh masyarakat memunculkan bendera putih. Di beberapa tenda memunculkan bendera negara lain,” paparnya.
“Ini ekspresi kemarahan. Bendera putih muncul ini upaya advokasi mereka. Berharap pemerintah punya tindakan apa yang perlu dilakukan segera,” tegasnya.
Pada sisi media massa, jurnalis senior Kompas Ahmad Arif mengatakan ketika bencana ada tantangan yaitu munculnya berita-berita hoaks. Tetapi hal yang paling miris, jelas Arif adalah berita hoaks ini tidak hanya muncul dari masyarakat tapi pemerintah.
“Menjadi masalah hoaks ini tidak disebarkan oleh publik saja tapi pemerintah. Ini jadi tantangan. Hoaks itu yg dipakai kalau dikeluarkan oleh masyarakat. Tapi bagaimana kalau hoaks itu dari pemerintah,” jelasnya.
Karena itu, dirinya mendorong agar media massa tetap mengawal penanganan bencana. Arif menilai banyak media massa yang tidak lagi menyoroti bencana di suatu daerah usai kondisi darurat selesai.
Karena itu, dirinya menekankan bahwa peran media massa tidak hanya menarik traffic dari cerita bencana yang terjadi pada masyarakat. Tetapi juga sebagai pengawas atau watchdog yang perlu mengingatkan pentingnya mitigasi bencana hingga penanganan pasca bencana.
“Media cenderung gagal mengawal pasca bencana. Bencana itu proses yg panjang. Kita ramai di awal-awal tapi lupa setelahnya,” sindirnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


