lonceng tukang cincau kearifan lokal - News | Good News From Indonesia 2025

Bunyi Lonceng Tukang Cincau dan Ingatan akan Kesegaran Lokal yang Bertahan di Tengah Zaman

Bunyi Lonceng Tukang Cincau dan Ingatan akan Kesegaran Lokal yang Bertahan di Tengah Zaman
images info

Bunyi Lonceng Tukang Cincau dan Ingatan akan Kesegaran Lokal yang Bertahan di Tengah Zaman


Setiap hari, hampir tanpa pernah absen, tukang cincau melewati depan rumah saya. Gerobaknya sederhana, beroda kecil, didorong perlahan menyusuri gang sempit perkampungan.

Ia tidak berteriak menawarkan dagangan. Penanda kehadirannya justru datang dari bunyi lonceng manual yang digoyangkan berulang-ulang: “klining… klining…”. Suara itu seperti jam alami, penanda siang yang terik, sekaligus isyarat bahwa kesegaran murah meriah sedang melintas.

Di tengah hiruk pikuk kendaraan dan notifikasi ponsel, bunyi lonceng itu terasa menenangkan. Ia mengingatkan bahwa ada hal-hal sederhana yang tetap setia hadir, meski zaman terus berubah.

Tukang cincau hari ini memang tak lagi memikul dagangannya seperti kisah orang-orang tua dulu. Bahu telah digantikan roda, pikulan berganti gerobak. Namun, esensi dagangannya nyaris tak berubah.

baca juga

Dengan uang tiga ribu rupiah, segelas cincau dalam plastik kecil masih bisa dinikmati. Ada potongan cincau hijau yang kenyal, es batu, dan siraman gula merah cair.

Tidak ada nama asing, tidak ada klaim berlebihan, tidak pula kemasan mencolok. Hanya rasa segar yang jujur dan apa adanya. Sebuah kemewahan kecil yang tetap terjangkau oleh siapa pun.

Ingatan saya lalu melompat ke masa kecil. Saat itu, cincau bukan barang dagangan, melainkan bagian dari rutinitas rumah tangga. Daunnya dipetik dari halaman sendiri atau kebun tetangga.

Setelah dicuci bersih, daun-daun itu diremas perlahan dalam air matang. Tidak ada kompor, tidak ada mesin, apalagi bahan tambahan. Beberapa jam kemudian, air hijau itu mengental dengan sendirinya, berubah menjadi gel alami. Proses yang dulu terasa biasa, kini justru terasa langka, bahkan mewah.

Waktu berjalan, gaya hidup berubah. Minuman kemasan dengan warna cerah, rasa buatan, dan janji kepraktisan membanjiri pasar. Cincau, dengan proses tradisionalnya, perlahan tersisih.

Ia kerap dianggap kuno dan kurang menarik bagi generasi muda. Padahal, jika ditelaah lebih jauh, daun cincau menyimpan manfaat yang sangat relevan dengan persoalan kesehatan hari ini.

Serat alaminya baik untuk pencernaan, sifatnya yang menyejukkan membantu tubuh menghadapi cuaca panas, dan kandungan antioksidannya berperan melindungi tubuh.

Sejak lama, cincau dipercaya sebagai bagian dari pengobatan tradisional untuk panas dalam dan gangguan pencernaan. Pengetahuan ini diwariskan lintas generasi, jauh sebelum istilah superfood menjadi tren global.

baca juga

Ironisnya, kita sering lebih percaya pada produk impor dan suplemen mahal. Kita membayar mahal untuk sesuatu yang dikemas modern, sementara tanaman di sekitar rumah justru diabaikan.

Cincau menjadi simbol bagaimana pengetahuan lokal kerap kalah pamor dibandingkan tren global. Padahal, nenek moyang kita meramu makanan bukan hanya untuk mengenyangkan, tetapi untuk menjaga keseimbangan tubuh.

Lebih dari sekadar minuman, cincau juga menyimpan nilai sosial. Proses pembuatannya kerap melibatkan kebersamaan. Di desa, membuat cincau bisa menjadi aktivitas kolektif.

Ibu-ibu saling berbagi daun, bertukar cerita, anak-anak menunggu dengan sabar sambil berharap bagian pertama yang dipotong. Hasilnya dinikmati bersama, tanpa sekat. Ada interaksi, ada kehangatan, ada hubungan sosial yang tumbuh.

Dalam konteks ketahanan pangan, cincau seharusnya mendapat perhatian lebih serius. Ia berpotensi menjadi pangan fungsional berbasis lokal.

Jika dibudidayakan secara berkelanjutan, diolah dengan pendekatan modern tanpa menghilangkan nilai alaminya, cincau bisa naik kelas tanpa kehilangan jati dirinya sebagai minuman rakyat.

baca juga

Jumlah pedagang cincau keliling kini memang semakin berkurang. Namun, selama bunyi “klining… klining…” itu masih terdengar di gang-gang kampung, ingatan kolektif itu tetap hidup. Menjaga cincau berarti menjaga hubungan kita dengan alam dan kearifan lokal.

Di tengah dunia yang bergerak cepat, mungkin kita perlu sesekali berhenti, meneguk segelas cincau, dan mengingat bahwa solusi hidup yang lebih sehat.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AK
KG
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.