Di tengah kehidupan yang semakin cepat dan penuh tuntutan, banyak orang terbiasa menjawab pertanyaan “apa kabar?” dengan satu kalimat singkat, yaitu baik-baik saja. Jawaban ini terdengar sopan, aman, dan tidak memancing percakapan lebih lanjut.
Namun, di balik kalimat tersebut, tidak sedikit individu yang sebenarnya sedang merasa lelah secara emosional, cemas, atau kehilangan arah. Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan sosial, melainkan memiliki penjelasan psikologis yang cukup mendalam.
Menjawab “baik-baik saja” sering kali menjadi cara paling mudah untuk bertahan di tengah tekanan kehidupan modern. Tanpa disadari, kebiasaan ini dapat membuat individu semakin jauh dari kesadaran emosionalnya sendiri.
Tekanan untuk Selalu Tampak Kuat
Dalam psikologi sosial, manusia cenderung menyesuaikan diri dengan norma lingkungan agar diterima secara sosial. Salah satu norma yang berkembang adalah anggapan bahwa menampilkan kesedihan, kelelahan emosional, atau kebingungan hidup merupakan tanda kelemahan.
Individu yang dianggap kuat sering kali adalah mereka yang terlihat stabil, produktif, dan mampu mengendalikan emosinya dalam berbagai situasi.
Tekanan ini membuat banyak orang memilih menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Menampilkan diri sebagai “baik-baik saja” menjadi strategi perlindungan agar terhindar dari penilaian negatif, pertanyaan lanjutan, atau rasa tidak enak karena dianggap membebani orang lain.
Dalam jangka pendek, strategi ini terasa aman, tetapi dalam jangka panjang dapat menjauhkan seseorang dari kebutuhan emosionalnya sendiri.
Emotional Suppression dan Dampaknya
Psikologi mengenal istilah emotional suppression, yaitu kecenderungan untuk menekan atau menahan ekspresi emosi yang dirasakan. Strategi ini sering digunakan dalam situasi yang menuntut kontrol diri tinggi, seperti lingkungan kerja, pendidikan, atau relasi sosial formal.
Menekan emosi memungkinkan seseorang tetap menjalankan peran sosialnya meskipun sedang tidak berada dalam kondisi emosional yang baik.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa penekanan emosi yang dilakukan secara terus-menerus dapat berdampak negatif bagi kesehatan mental. Gross (2015) menjelaskan bahwa regulasi emosi yang tidak adaptif berkaitan dengan meningkatnya stres psikologis dan menurunnya kesejahteraan subjektif.
Emosi yang ditekan tidak hilang, melainkan tetap diproses oleh tubuh dan pikiran, sehingga berpotensi memunculkan kelelahan mental, gangguan tidur, serta ketegangan fisik.
Belajar Jujur pada Diri Sendiri
Kesadaran diri atau self-awareness menjadi langkah penting dalam menjaga kesehatan mental. Mengakui bahwa diri sedang lelah bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kepedulian terhadap diri sendiri. Psikologi memandang kemampuan mengenali dan menerima emosi sebagai bagian penting dari regulasi emosi yang sehat.
Belajar jujur pada diri sendiri dapat dimulai dari hal sederhana, seperti memberi ruang untuk beristirahat, menurunkan ekspektasi yang terlalu tinggi, atau mengizinkan diri untuk tidak selalu kuat.
Berbicara dengan orang tepercaya juga dapat membantu meringankan beban emosional, karena emosi yang dibagikan cenderung lebih mudah dikelola dibandingkan emosi yang dipendam.
Menormalkan Ketidaksempurnaan Emosional
Tidak semua orang yang terlihat baik-baik saja benar-benar merasa demikian. Di balik senyum dan kesibukan, setiap individu membawa cerita serta beban emosionalnya masing-masing. Kabar baiknya, kesadaran akan pentingnya kesehatan mental semakin meningkat.
Banyak orang mulai memahami bahwa merasa lelah, bingung, atau rapuh adalah bagian wajar dari pengalaman manusia.
Pada akhirnya, menjadi manusia tidak menuntut kita untuk selalu kuat setiap saat. Yang lebih penting adalah kemampuan untuk peduli pada diri sendiri, mengenali batas, dan berani mencari dukungan ketika dibutuhkan.
Dengan menormalisasi kejujuran emosional, kita dapat membangun ruang sosial yang lebih empatik dan manusiawi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


