Ditulis oleh Akhyari Hananto
Selama lebih dari tiga dekade, Indonesia terjebak dalam wilayah senja ekonomi yang dikenal sebagai jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap). Setelah masuk ke kategori ini pada awal 1990-an, Indonesia hingga kini belum berhasil melompat ke status negara berpendapatan tinggi. Proyeksi saat ini menunjukkan bahwa penantian tersebut akan berlanjut setidaknya hingga 2038, dan bahkan bisa sampai 2045.
Keluar dari pusaran ini bukan perkara mudah, ujar Susiwijono Moegiarso, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Sejarah hanya mencatat sedikit kisah sukses. Jepang berhasil menembusnya pada 1964. Empat “Macan Asia”, Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan, menyusul setelahnya. Sebagian besar negara lain tetap tertahan.
Di Asia Tenggara, persaingannya tidak merata. Malaysia, dengan pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita sebesar US$11.670, diperkirakan akan naik kelas pada 2028. Thailand, dengan GNI per kapita US$7.120, kemungkinan menyusul sekitar satu dekade kemudian. Indonesia masih tertinggal. Dengan GNI hanya US$4.910, kelulusannya sangat bergantung pada laju pertumbuhan di masa depan.
Gejala jebakan ini sudah dikenal luas. Menurut Susiwijono, pertumbuhan ekonomi melambat, produktivitas stagnan, dan inovasi masih terbatas. Kelemahan institusi memperparah kondisi tersebut. Resepnya pun jelas: diperlukan reformasi struktural yang mendalam untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan.
Meski demikian, indikator makroekonomi tetap menunjukkan ketahanan. Investasi pada periode kuartal I hingga kuartal III 2025 mencapai Rp1.434 triliun, meningkat 13,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sejak akhir 2024, nilai investasi kuartalan secara konsisten melampaui Rp450 triliun. Susiwijono menilai hal ini sebagai cerminan kepercayaan terhadap stabilitas politik dan kebijakan pemerintah.
Untuk mempercepat kemajuan, Jakarta kini mengetuk pintu OECD, sebuah klub yang mayoritas anggotanya adalah negara-negara maju. Keanggotaan dipandang sebagai semacam stempel persetujuan yang akan mendorong tata kelola yang lebih baik serta pembukaan pasar. Proses aksesi telah dimulai. Nota awal disampaikan di Paris pada Juni lalu, dan pejabat OECD mengunjungi Jakarta awal bulan ini untuk memberikan dukungan. Apakah jangkar eksternal ini mampu menarik Indonesia naik ke tangga berikutnya masih harus dibuktikan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


