Kalimat sederhana seperti “Capek itu wajar, nanti juga terbiasa” sering kali dianggap sebagai kata-kata penyemangat. Namun, bagi banyak siswa dan mahasiswa, ungkapan ini justru menandai akhir dari keluhan yang tak pernah benar-benar diperhatikan.
Tumpukan tugas, deadline yang bertubi-tubi, ekspektasi nilai tinggi, serta tekanan dari sekitar membuat kelelahan menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas sehari-hari.
Di zaman sekarang, pelajar seakan dipaksa untuk selalu tangguh, produktif, dan berprestasi. Media sosial turut memperburuk situasi ini, dengan linimasa yang penuh dengan capaian akademik, jadwal padat, dan kisah sukses yang tampak sempurna. Siapa yang tidak ingin tampil mampu dan baik-baik saja?
Namun, terus memaksa diri tanpa memberikan kesempatan untuk beristirahat bisa berujung buruk. Kelelahan awal yang dianggap “capek biasa” perlahan berkembang menjadi kelelahan emosional yang lebih parah, yang dikenal sebagai emotional burnout.
Apa Itu Emotional Burnout
Emotional burnout adalah kondisi kelelahan mental dan emosional yang timbul dari tekanan jangka panjang. Christina Maslach, ahli utama dalam studi burnout, menjelaskan bahwa kondisi ini ditandai oleh kelelahan emosional, perasaan terpisah dari kegiatan yang dilakukan, serta penurunan rasa pencapaian pribadi (Maslach, 1981).
Di bidang pendidikan, burnout sering dipicu oleh tuntutan akademik yang tinggi. Schaufeli (2002) menyatakan bahwa burnout pada pelajar erat kaitannya dengan beban belajar yang berat, tekanan untuk berprestasi, serta ketidakseimbangan antara tuntutan akademik dan kebutuhan psikologis.
Burnout bukanlah sekadar rasa lelah yang hilang setelah istirahat sebentar. Kondisi ini bisa membuat seseorang merasa kosong, kehilangan motivasi, dan merasa tidak memadai, meski sudah berusaha maksimal.
Dampak Emotional Burnout pada Pelajar
Emotional Burnout memberikan efek serius bagi siswa dan mahasiswa. Salah satu dampak utama adalah penurunan motivasi belajar dan produktivitas. Kegiatan akademik yang dulunya terasa normal kini menjadi sangat melelahkan, bahkan menimbulkan keengganan untuk memulai.
Secara emosional, pelajar yang mengalami burnout cenderung lebih sensitif. Emosi menjadi tidak stabil, mudah tersinggung, sering merasa sedih, atau malah merasa hampa. Menurut Schaufeli (2002), burnout juga terkait dengan peningkatan stres dan penurunan keterlibatan pelajar dalam proses belajar.
Kondisi ini sering disertai penurunan performa akademik serta munculnya rasa bersalah karena gagal memenuhi harapan orang tua, guru, atau diri sendiri.
Mengapa Emotional Burnout Sering Dianggap Sepele?
Salah satu penyebab Emotional Burnout sering diabaikan adalah budaya yang menormalisasi kelelahan. Pelajar dianggap biasa jika lelah, stres, atau tertekan. Ungkapan seperti “namanya juga belajar” atau “semua orang juga capek” tanpa sadar mengabaikan kondisi psikologis yang sedang dihadapi.
Tekanan dari lingkungan sosial juga memperburuk masalah. Ekspektasi orang tua terhadap masa depan anak, perbandingan dengan teman seumur, serta standar kesuksesan yang dipamerkan di media sosial membuat pelajar merasa harus selalu kuat dan tidak boleh mengeluh. Akibatnya, banyak pelajar memilih menyimpan perasaan hingga akhirnya mengalami burnout.
Cara Mengurangi Emotional Burnout
Mengatasi emotional burnout dimulai dari kesadaran bahwa kelelahan mental adalah hal yang nyata dan valid. Pelajar perlu belajar mengenali batas kemampuan diri dan berani menolak tuntutan yang berlebihan.
Beberapa langkah yang bisa membantu meliputi pengelolaan waktu yang lebih realistis, teknik coping seperti mindfulness dan menulis jurnal, serta mengurangi kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain. Maslach (1981) juga menekankan bahwa dukungan sosial berperan penting dalam mengurangi dampak burnout.
Peran orang tua, guru, dan teman sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang aman secara emosional. Mendengarkan tanpa menghakimi dan memberikan empati bisa membantu pelajar merasa lebih dipahami dan tidak sendirian.
Capai Itu Valid, Bukan Tanda Lemah
Emotional burnout adalah masalah nyata yang sering dialami pelajar dan mahasiswa, terutama saat tekanan akademik dan sosial datang bersamaan. Menganggapnya sebagai “capek biasa” justru berisiko memperparah kesehatan mental.
Merasa lelah, kewalahan, atau tidak baik-baik saja bukanlah indikasi kelemahan. Dengan memahami emotional burnout dan membangun dukungan yang tepat, pelajar bisa menjaga keseimbangan emosional dan menjalani proses belajar dengan lebih sehat dan manusiawi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


