Libur akhir tahun sering kali datang dengan banyak harapan. Kita berharap bisa beristirahat, melepas rasa penat, atau setidaknya menikmati momen bersama keluarga dan teman.
Ada bayangan bahwa liburan akan membawa perubahan perasaan, membuat segalanya terasa lebih ringan. Namun, ada kalanya liburan berjalan biasa saja—tidak buruk, tidak juga istimewa.
Jika liburan terasa biasa saja, barangkali itu bukan tanda ada yang kurang. Bisa jadi, itu merupakan isyarat bahwa kita sedang membutuhkan jeda.
Bukan jeda untuk pergi ke mana-mana atau melakukan banyak hal, melainkan jeda untuk benar-benar berhenti sejenak, bernapas, dan membiarkan diri tidak terus-menerus mengejar apa pun.
Saat Liburan Tidak Datang dengan Rasa yang Kita Harapkan
Libur sering dibayangkan sebagai momen jeda yang menyenangkan. Waktu untuk berhenti sejenak dari rutinitas dan mengumpulkan energi, sebelum kembali menjalani hari-hari yang padat.
Namun, tidak semua libur berjalan seperti itu. Ada kalanya hari-hari tetap terasa datar, meski jadwal sudah longgar dan pekerjaan mulai menjauh.
Di situ, rasa “biasa saja” kerap dianggap sebagai tanda ada yang kurang, seolah-olah liburan harus selalu diisi dengan perasaan senang atau pengalaman yang berkesan.
Padahal, liburan tidak selalu datang untuk memberi rasa senang yang besar, melainkan untuk memperlambat ritme yang selama ini terlalu cepat. Di titik ini, diam dan tidak melakukan apa pun pun bisa menjadi bagian dari proses tersebut.
Bagi banyak orang, "melambat" bukan hal yang mudah. Setelah terbiasa bergerak dari satu tuntutan ke tuntutan lain, berhenti justru terasa canggung.
Karena itu, ketika libur tidak langsung terasa menyenangkan, kebingungan sering muncul. Bukan karena liburnya gagal, melainkan karena kita sedang belajar memberi ruang dengan cara yang berbeda dari biasanya.
Ketika Rasa Biasa Saja Sering Disalahpahami
Rasa “biasa saja” kerap dipandang sebagai tanda tidak bersyukur atau tidak menikmati momen dengan baik. Perasaan ini sering dianggap harus segera diubah atau diperbaiki. Padahal, tidak semua perasaan netral membutuhkan respons cepat.
Ada kalanya, perasaan tersebut hanya perlu dikenali dan diterima—tanpa buru-buru diberi makna, tanpa harus segera diubah menjadi sesuatu yang lain.
Dalam ritme hidup yang bergerak cepat, banyak dari kita terbiasa mengejar rasa senang dan bermakna. Maka ketika liburan datang tanpa lonjakan emosi apa pun, tubuh dan pikiran bisa terasa canggung.
Beberapa kajian populer tentang kesehatan mental menyebutkan bahwa proses pemulihan dari tekanan dan stres merupakan bagian penting dari kesejahteraan setelah periode aktivitas yang padat (Harvard Health Publishing).
Karena itu, rasa “biasa saja” tidak selalu menandakan ada yang kurang, melainkan bisa menjadi isyarat bahwa kita sedang membutuhkan kondisi yang lebih stabil dan tenang.
Memberi Ruang untuk Berhenti Sejenak
Liburan tidak selalu datang untuk menghadirkan rasa bahagia yang besar. Ada kalanya, ia hadir sebagai kesempatan untuk melambat, menurunkan ritme, dan membiarkan diri berada di kondisi yang lebih tenang.
Dalam keseharian yang penuh tuntutan, jeda seperti ini sering kali terlewatkan, padahal justru dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan diri—terutama setelah periode aktivitas yang panjang dan padat.
Bagi Kawan GNFI yang mungkin merasakan liburan kali ini berjalan biasa saja, tidak apa-apa. Barangkali itu bukan pertanda ada yang kurang, melainkan sinyal bahwa tubuh dan pikiran sedang membutuhkan jeda. Jeda untuk bernapas, untuk diam sejenak, dan untuk kembali melangkah tanpa harus mengejar apa pun.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


