Tidak semua perpisahan harus berakhir dengan pertengkaran. Bagi sebagian orang, perceraian justru menjadi awal baru untuk belajar menjadi orang tua yang lebih dewasa.
Co-parenting adalah bentuk kerja sama antara dua orang tua dalam membesarkan anak secara bersama, meskipun hubungan romantis di antara mereka telah berakhir.
Dikutip dari National Library of Medicine (Mark E. Feinberg, 2011), pola pengasuhan ini menekankan pentingnya komunikasi, koordinasi yang konsisten, serta dukungan timbal balik agar anak tetap merasa aman dan dicintai.
Peran Co-Parenting dalam Tumbuh Kembang Anak
Dalam jurnal Predictors of Supportive Co-Parenting After Relationship Dissolution yang diterbitkan di Journal of Family Psychology, dijelaskan bahwa co-parenting berperan penting dalam membantu anak beradaptasi secara emosional setelah perceraian.
Ketika kedua orang tua tetap aktif terlibat dan bekerja sama, anak akan tumbuh dengan rasa aman, stabil, dan memiliki hubungan yang sehat dengan keduanya.
Namun, praktik co-parenting tidak selalu mudah. Dibutuhkan kedewasaan emosional dan kemampuan komunikasi yang matang.
Orang tua perlu menekan ego pribadi, menjaga batasan, serta menghormati waktu dan peran masing-masing dalam kehidupan anak.
Langkah Membangun Co-Parenting yang Sehat
Menurut Jam et al. (2021) dalam Children and Youth Services Review, terdapat beberapa langkah penting yang dapat dilakukan untuk menciptakan hubungan co-parenting yang sehat dan suportif.
1. Menjaga komunikasi yang konsisten dan jelas
Komunikasi adalah fondasi utama dari setiap bentuk hubungan, termasuk setelah perceraian. Orang tua perlu berbicara dengan jujur dan terbuka mengenai kebutuhan anak, tanpa membiarkan emosi pribadi ikut campur.
Kalimat sederhana seperti “Kamu bisa antar dia ke les hari ini?” menyimpan pesan besar bahwa kedua orang tua tetap satu tim untuk mendampingi anak tumbuh.
2. Menetapkan batasan yang sehat
Meski hubungan romantis telah berakhir, rasa hormat di antara kedua orang tua harus tetap ada. Batasan diperlukan agar komunikasi fokus pada kepentingan anak, bukan masa lalu.
Co-parenting bukan tentang membangun kembali hubungan lama, melainkan menciptakan ruang aman bagi anak untuk mencintai kedua orang tuanya tanpa rasa bersalah.
3. Berfokus pada kepentingan anak
Semua keputusan bersama harus berlandaskan satu hal: apa yang terbaik bagi anak.
Bukan tentang siapa yang lebih benar atau lebih lelah, tetapi siapa yang mampu membuat anak merasa dicintai tanpa syarat.
Anak yang hidup di tengah perceraian sering kali diam-diam bertanya, “Apakah aku masih boleh sayang sama Ayah dan Ibu?” Co-parenting yang sehat menjawab pertanyaan itu dengan tindakan, bukan kata-kata.
4. Menunjukkan rasa hormat di depan anak
Bagi anak, melihat kedua orang tuanya bisa tetap bekerja sama adalah bentuk ketenangan tersendiri. Tidak ada luka yang lebih dalam dari melihat orang tuanya saling menyalahkan, dan tidak ada kenyamanan yang lebih besar dari melihat mereka saling menghormati.
5. Mempertahankan rutinitas yang stabil
Anak-anak membutuhkan prediktabilitas untuk merasa aman. Rutinitas seperti waktu belajar, makan malam bersama, atau menelepon salah satu orang tua di malam hari bisa menjadi jangkar emosional bagi mereka.
Ketika dunia anak terasa berubah karena perceraian, hal-hal kecil yang tetap sama membantu mereka bertahan.
Belajar Dewasa lewat Tanggung Jawab Bersama
Pada akhirnya, co-parenting yang sehat bukan tentang mantan pasangan yang kembali dekat, melainkan tentang dua orang yang sama-sama berani memilih kedewasaan.
Mereka belajar bahwa cinta sejati tidak selalu berbentuk kebersamaan, melainkan hadir dalam kerja sama tanpa pamrih demi satu tujuan bersama: anak yang tumbuh bahagia, hangat, dan penuh kasih.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


