TikTok menjadi salah satu aplikasi yang paling banyak digunakan saat ini, terutama di kalangan remaja. Platform ini membuka ruang luas untuk berekspresi, berkreasi, dan membangun identitas diri. Namun, di balik peluang tersebut, tidak semua interaksi yang terjadi membawa dampak positif.
Kolom komentar, yang seharusnya menjadi ruang diskusi dan apresiasi, justru kerap berubah menjadi sumber tekanan psikologis.
Dalam artikel ini dibahas bahwa kolom komentar TikTok dapat memicu tekanan mental bagi penggunanya, karena masih banyak komentar yang berisi pelecehan, cyberbullying, dan hate speech.
Beragam komentar bermuatan pelecehan seksual, cyberbullying, hingga hate speech masih mudah ditemukan. Komentar-komentar ini tidak berhenti sebagai teks di layar. Bagi remaja, ia dapat memengaruhi kondisi mental dan meninggalkan dampak jangka panjang yang serius.
Komentar Bernada Pelecehan Seksual
Komentar bernuansa pelecehan seksual masih sering muncul di kolom TikTok. Korbannya bukan hanya figur publik, tetapi juga pengguna biasa, termasuk remaja. Bentuknya beragam, mulai dari komentar tentang tubuh hingga kalimat sugestif yang merendahkan.
Penelitian menunjukkan bahwa korban pelecehan seksual secara daring dapat mengalami stres, perasaan tidak berharga, serta penurunan kualitas tidur (Julianti et al., 2023). Temuan ini menegaskan bahwa interaksi digital tetap memicu respons psikologis yang nyata, meski tidak terjadi secara langsung.
Dampak Komentar Berisi Cyberbullying
Cyberbullying di TikTok banyak dialami oleh siswa dan remaja. Dampaknya tidak bisa dianggap ringan. Korban dapat mengalami stres berkepanjangan, rasa putus asa, menarik diri dari lingkungan sosial, hingga kehilangan motivasi belajar. Dalam kasus tertentu, bahkan muncul dorongan untuk melukai diri sendiri (Sari et al., 2025).
Kondisi ini menunjukkan bahwa cyberbullying bukan sekadar konflik di dunia maya. Ia telah menjadi persoalan kesehatan mental yang membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak.
Dampak Komentar Berisi Hate Speech
Selain cyberbullying, komentar bermuatan hate speech turut memperburuk kondisi psikologis remaja. Dampaknya terlihat dari meningkatnya kecemasan, menurunnya motivasi, serta munculnya perilaku bermasalah (Marasabessy & Lopulalan, 2025).
Laporan Cyberbullying Data 2024 mencatat bahwa bentuk yang paling sering dilaporkan berupa komentar jahat, merendahkan, mempermalukan, hingga body shaming secara virtual.
Remaja yang terpapar komentar bernada kebencian cenderung menunjukkan tingkat kecemasan lebih tinggi dan motivasi yang semakin melemah.
Membangun Kolom Komentar yang Lebih Aman
Masalah di kolom komentar tidak harus dibiarkan. Ada langkah konkret yang bisa dilakukan bersama untuk menciptakan ruang digital yang lebih aman.
Kawan GNFI, sebagai pengguna media sosial, perlu menyadari bahwa setiap komentar memiliki dampak psikologis nyata. Menahan diri sebelum berkomentar, memanfaatkan fitur lapor dan blokir, serta memberikan dukungan kepada korban dapat membantu mengurangi tekanan mental yang mereka alami.
Di sisi lain, platform juga memegang peran penting. TikTok telah menyediakan fitur seperti filter kata, pembatasan komentar, dan sistem pelaporan.
Fitur-fitur ini perlu digunakan secara aktif dan terus diperkuat agar komentar bermuatan pelecehan, cyberbullying, dan hate speech tidak terus berulang.
Peran orang tua dan pendidik juga tidak kalah krusial. Remaja membutuhkan pendampingan, bukan larangan sepihak. Literasi digital dan ruang dialog yang terbuka dapat membantu remaja memahami bahwa komentar negatif tidak mendefinisikan nilai diri mereka.
Kolom komentar TikTok sering dianggap sepele. Padahal, dampaknya bisa sangat serius. Komentar bermuatan pelecehan, perundungan, dan kebencian dapat memicu stres, kecemasan, hingga dorongan melukai diri sendiri.
Lingkungan digital yang aman tidak bisa dibebankan pada korban semata. Ia perlu dibangun bersama, agar media sosial tetap menjadi ruang yang memberi manfaat dan rasa aman bagi generasi muda.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


