Waktu di Jakarta selalu berjalan dengan ritme yang berbeda. Sekadar detik demi detik yang lewat, tapi rasanya kehidupan selalu berirama dengan cepat. Percakapan tentang pekerjaan dan kesejahteraan setiap tahun semakin dekat dengan telinga kita.
Setiap kali Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta diumumkan, perhatian publik hampir selalu tertuju pada satu hal, yaitu angkanya. Naik atau tidak, cukup atau belum, berpihak atau memberatkan.
Padahal, dalam kebijakan pengupahan nasional, ada satu batas penting yang seringkali lupa dari pembahasan, bahkan dari pemahaman banyak pekerja dan pengusaha.
Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta selalu disambut sebagai sesuatu yang positif. UMP yang ditetapkan pemerintah daerah kerap menjadi sebuah headline, dirayakan, kemudian dijadikan tolok ukur standar penghidupan layak.
Bayangkan saja jika seorang pekerja baru yang mulai menapaki lembar hidupnya di kota ini membaca angka UMP, dengan harapan bahwa angka itu menjamin setidaknya sepotong roti, secangkir kopi di akhir pekan, atau ongkos pulang per bulan yang tak perlu “dicuri” dari tabungan darurat.
Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan secara tegas menyatakan bahwa upah minimum adalah jaring pengaman awal bagi pekerja baru. Setelah melewati masa kerja satu tahun, upah pekerja seharusnya tidak lagi mengacu pada UMP, melainkan pada struktur dan skala upah yang ditetapkan oleh perusahaan.
Artinya, UMP bukan standar upah seumur hidup, melainkan titik awal dalam sistem pengupahan yang lebih berlapis.
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan Nasional menjadi pijakan hukum terbaru dalam pengelolaan sistem upah bagi pekerja dan buruh di Indonesia.
Regulasi ini mengatur secara menyeluruh berbagai aspek pengupahan, mulai dari arah kebijakan, mekanisme penetapan upah minimum, penyusunan struktur dan skala upah, hingga bentuk serta tata cara pembayarannya.
Dalam ketentuan tersebut, pemerintah daerah diwajibkan menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan diberikan kewenangan untuk menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi serta dinamika ketenagakerjaan di wilayah masing-masing.
Peraturan Pemerintah ini juga menegaskan bahwa upah minimum hanya diberlakukan bagi pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun.
Sementara itu, bagi pekerja yang telah bekerja selama satu tahun atau lebih, sistem pengupahan tidak lagi merujuk pada upah minimum, melainkan pada struktur dan skala upah yang disusun oleh perusahaan.
Penyusunan struktur dan skala upah tersebut wajib memperhatikan faktor jabatan, masa kerja, tingkat pendidikan, dan kompetensi pekerja. Ketentuan ini dimaksudkan untuk membangun sistem pengupahan yang lebih berkeadilan, terbuka, dan berorientasi pada kinerja.
Dalam balutan formalitas regulasi itu, kita menemukan dua sisi yang kontras. Di satu sisi, ide struktur dan skala upah memang lebih adil secara teori karena upah pekerja dihitung berdasarkan kualitas, akumulasi pengalaman, dan kontribusi nyata.
Namun, di sisi lain, sistem ini bisa menjadi teka-teki bagi pekerja yang belum tersentuh oleh literasi ketenagakerjaan yang memadai.
Misalnya pada sektor pasar kerja UMKM, perhitungan gaji juga diatur secara berbeda. Usaha mikro dan kecil diperbolehkan memberikan upah di bawah UMP, sesuai dengan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha meskipun tetap memperhatikan kesejahteraan minimum tertentu.
Realitas ini memperlihatkan kompleksitas pengupahan bahwa ternyata tidak semua struktur usaha mampu atau diwajibkan mengikuti angka minimum yang sama persis.
Jika UMP selalu menjadi sebuah headline, maka struktur dan skala upah layaknya paragraf panjang yang harus dibaca cermat oleh setiap pekerja terutama mereka yang telah lebih dari satu tahun mengabdikan dirinya pada profesi atau perusahaan tertentu. Kritik terbesar terletak pada cara kita memahami kebijakan ini.
Bukan sekadar angka yang naik turun, tetapi keterbacaan dan keadilan sistem yang berdampak langsung pada kehidupan pekerja di Jakarta.
Menyusun struktur dan skala upah bukan pekerjaan sederhana, terutama bagi usaha yang masih tumbuh. Namun, di sinilah peran pemerintah menjadi penting, sebagai penguat sistem.
Pengawasan, pendampingan, dan edukasi ketenagakerjaan perlu berjalan seiring dengan kebijakan. Tanpa hal tersebut, tentunya struktur dan skala upah akan terus menjadi kewajiban formal yang diabaikan.
Jakarta sedang bergerak menuju statusnya sebagai kota global, dengan tuntutan profesionalisme yang semakin tinggi, sistem pengupahan yang adil dan transparan bukan lagi sebuah pilihan.
Kota global tidak dibangun hanya dari infrastruktur yang memadai, dan estetika kota saja, tetapi dari hubungan kerja yang sehat. Sebab kesejahteraan pekerja tidak melulu ditentukan oleh satu angka tahunan, tetapi oleh sistem yang konsisten, adil, dan dipahami bersama.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


