Bank Indonesia dan Bank of Thailand memasuki ambang tahun 2026 dengan strategi moneter yang kontras meski keduanya berada di bawah bayang-bayang tekanan ekonomi global.
Di tengah ketidakpastian dampak tarif Amerika Serikat dan risiko politik domestik, kedua otoritas moneter ini mengambil langkah berbeda dalam menyikapi pergerakan mata uang masing-masing. Bank of Thailand resmi memangkas suku bunga acuannya, sementara Bank Indonesia memilih untuk tetap menahan suku bunga pada tingkat saat ini.
Perbedaan ini berakar pada performa mata uang nasional kedua negara sepanjang tahun berjalan. Baht Thailand tercatat menguat signifikan hingga lebih dari 8 persen, sebuah kondisi yang justru membebani permintaan domestik sehingga bank sentral merasa perlu melemahkan mata uangnya demi menjaga daya saing ekonomi.
Sebaliknya, rupiah telah melemah sekitar 3,03 persen, sehingga fokus utama Bank Indonesia adalah menjaga stabilitas nilai tukar agar tetap menarik bagi arus modal asing.
"Langkah-langkah bertahap perlu diterapkan untuk mengelola pergerakan baht," ungkap Gubernur Bank of Thailand, Vitai Ratanakorn.
Di sisi domestik, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menegaskan bahwa pihaknya masih terus menakar ruang untuk pemangkasan suku bunga di masa depan.
Fokus BI saat ini tidak hanya pada stabilitas nilai tukar, tetapi juga mendukung agenda percepatan pertumbuhan ekonomi. Meskipun pasar melihat adanya arah pelonggaran, depresiasi rupiah menjadi faktor penahan utama mengapa BI belum kembali menurunkan suku bunga dalam waktu dekat.
"Kami melihat sedikit bukti bahwa bank sentral kini sepenuhnya puas dengan kinerja pertumbuhan ekonomi dan kredit hingga benar-benar menghentikan arah pelonggaran kebijakan," tulis ekonom Barclays Plc dalam catatan risetnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


