Kehilangan Mestika adalah sebuah novel yang ditulis oleh Fatimah Hasan Delais, seorang penulis perempuan yang aktif pada masa Pujangga Baru. Novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka dan mengangkat tema mengenai perjuangan seorang wanita dalam meningkatkan pendidikan kaum perempuan, serta hambatan dan ketidakadilan sosial yang mereka hadapi dalam masalah cinta.
Fatimah Hasan Delais, yang juga dikenal dengan nama pena Hamidah, adalah salah seorang novelis, penyair, dan penulis perempuan Indonesia yang lahir di Muntok, Bangka pada 13 Juni 1915 dan meninggal pada 08 Mei 1953. Beliau merupakan salah satu penulis perempuan yang turut mewarnai dunia sastra Indonesia pada masa Pujangga Baru yang melakukan penerbitan ke seluruh Hindia Belanda, bersama dengan Saadah Alim, Sariamin Ismail, Soewarsih Djojopoespito, dan lainnya. Karya-karya beliau seringkali mengangkat isu-isu sosial yang relevan dengan kehidupan perempuan pada masa itu.
Novel buatannya ini pada tahun 1935, adalah salah satu karya pertama yang mengusung tema emansipasi wanita, yang dimana para wanita melawan tradisi masyarakat khususnya dalam konteks pernikahan paksa yang menjadi tantangan besar bagi perempuan pada masa itu.
Cerita ini berlatar masyarakat tradisional Indonesia, seperti di Pulau Bangka, Kota Pangkalpinang, Kota Palembang, Kota Bengkulu dan Kota Jakarta pada masa itu. Di mana norma sosial sering kali membatasi kebebasan perempuan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Melalui tema tersebut, dalam novel ini mengisahkan perjuangan seorang tokoh utama wanita bernama Hamidah dalam meraih pendidikan dan kemandirian, menyoroti permasalahan yang dihadapi oleh wanita dalam percintaan, terutama yang berkaitan dengan adat dan tradisi, dan mengalami kehilangan besar dalam hidupnya, baik dalam arti harfiah maupun kiasan.
Mengapa dinamakan Mestika? Karena dalam novel ini, mestika dapat merujuk pada sesuatu yang sangat berharga, baik itu seseorang, benda, atau nilai-nilai dalam kehidupan. Dalam perjalanan ceritanya, Hamidah sebagai tokoh utama dihadapkan pada berbagai tantangan emosional dan sosial yang menguji ketabahan serta kemampuannya dalam menghadapi kenyataan hidup.
Fatimah Hasan Delais menggunakan gaya bahasa yang deskriptif, reflektif, dan emosional, sehingga pembaca dapat merasakan kedalaman perasaan tokoh-tokohnya. Narasinya kaya akan simbolisme, membuat pembaca dapat memahami lebih dalam tentang perjuangan tokoh utama. Teknik narasi yang digunakan cenderung mengalir dengan alur yang tidak terlalu kompleks, namun tetap menarik dengan penggambaran konflik yang kuat.
Karakter yang ditulis Fatimah Hasan Delais juga sangat kuat dalam menunjukkan emosi dan perjuangan mereka, menjadikannya sebagai cerminan realitas kehidupan perempuan di era tersebut.
Apa yang Ingin Penulis Berikan kepada Pembaca?
- Kehilangan dan pencarian makna hidup: bagaimana ketika Hamidah berusaha menemukan kembali sesuatu yang hilang dalam hidupnya.
- Ketabahan dalam menghadapi cobaan: kehidupan tidak selalu berjalan sesuai harapan dan setiap individu harus belajar menerima serta menghadapinya dengan bijak.
- Pentingnya kesetaraan gender dan perlunya menghargai hak perempuan untuk menentukan nasibnya sendiri. Selain itu, cerita ini juga mengajarkan nilai-nilai toleransi dan pengorbanan sebagai bagian dari kehidupan manusia.
Mengapa Karya Ini Penting untuk Dibaca?
Kehilangan Mestika merupakan salah satu karya sastra penting yang menggambarkan kondisi sosial dan budaya pada masa Pujangga Baru. Dengan mengandung nilai-nilai emansipasi wanita, memberikan gambaran mengenai perjuangan perempuan Indonesia dalam meraih kesetaraan, meraih pendidikan, dan kemandirian.
Tak lupa juga perjuangan dan ketabahan dalam menghadapi rintangan. Walaupun diterbitkan sejak 1930-an, karya sastra yang mengandung nilai budaya dan adat istiadat ini adalah karya yang tetap bisa dibaca dan diapresiasi walau telah termakan waktu.
Novel Kehilangan Mestika karya Fatimah Hasan Delais ini juga menggunakan pendekatan mimetik dalam sastra. Karena, pendekatan mimetik menilai karya sastra berdasarkan sejauh mana ia mencerminkan realitas atau kehidupan nyata. Dalam Kehilangan Mestika, narasi berfokus pada pengalaman kehilangan, pencarian makna hidup, serta refleksi budaya yang kuat, yang menggambarkan kondisi sosial dan emosional manusia secara realistis.
Selain itu, jika novel ini menampilkan latar budaya yang kental dan konflik yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, maka pendekatan ini semakin kuat, karena menghubungkan sastra dengan kehidupan nyata. Namun, jika kita melihat unsur subjektivitas penulis dalam menggambarkan perasaan mendalam dari tokoh utama, maka Kehilangan Mestika juga dapat dianalisis menggunakan pendekatan ekspresif. Alasannya?
- Refleksi Emosi dan Pengalaman Penulis: Pendekatan ekspresif menilai karya sastra sebagai cerminan emosi, pemikiran, atau pengalaman pribadi pengarang. Kehilangan Mestika menampilkan perasaan kehilangan, duka, dan pencarian makna dengan intensitas emosional yang kuat, hal ini bisa menjadi ekspresi pengalaman atau perasaan yang ingin disampaikan oleh Fatimah Hasan Delais.
- Dominasi Perasaan dan Sudut Pandang Tokoh: Novel ini lebih banyak mengeksplorasi konflik batin tokoh utama dan narasi berpusat pada pergulatan emosionalnya, maka itu menunjukkan bahwa novel lebih bersifat ekspresif.
- Gaya Bahasa yang Puitis atau Melankolis: Dalam novel terdapat penggunaan bahasa yang emosional, puitis, atau simbolik yang menyoroti perasaan kehilangan secara mendalam, maka ini merupakan ciri khas pendekatan ekspresif.
- Karya Sebagai Sarana Ekspresi: Kehilangan Mestika juga tidak hanya berfungsi untuk merepresentasikan realitas (mimetik), tetapi juga menjadi medium bagi penulis untuk menyampaikan perasaan dan pemikirannya secara subjektif, maka pendekatan ekspresif lebih dominan.
Jadi, jika novel ini menggambarkan realitas sosial secara objektif, pendekatan mimetik lebih dominan. Namun, jika emosi tokoh utama menjadi fokus utama dan narasi lebih menekankan ekspresi batin daripada sekadar cerminan dunia nyata, maka pendekatan ekspresif bisa digunakan dalam analisis sastra novel ini.
Beberapa Kutipan yang Saya Sukai dalam Novel Kehilangan Mestika
Lebih baik kita berpahit-pahit dahulu sebelum di telan, daripada menyesal setelah terlanjur. (Hamidah, hal. 32)
Ya, kami memang perempuan. Lekas kasihan mendengar perkataan yang sedih-sedih. Lekas tertarik mendengar perkataan yang manis-manis. Lekas pula marah mendengar perkataan yang agak kasar. (Hamidah, hal. 33)
Terkadang-kadang biar bagaimana bagusnya susunan sesuatu perkara, biar bagaimana besarnya harapan kita, biar bagaimanapun sukarnya kita berdaya-upaya, untung juga yang menjadi hakimnya. Jikalau untung kita baik tentu kejadian. Apabila malang tentu sebaliknya. Alangkah mujurnya orang yang mempunyai untung baik. Memang benar perkataan orang-orang tua berbunyi: "untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak". (Hamidah, hal. 34)
Sesungguhnya waktu itu bengis, tetapi pengiba dan penyayang juga. Ia memusnahkan yang lama, tetapi yang dimusnahkannya selalu digantinya, meskipun sering berlainan. (Hamidah, hal. 64)
Tak usah mengharap-harap akan kaya. Bukan itu yang terutama. Hidup dalam kegirangan dengan pikiran yang lapang, jauh lebih berbahagia. (Hamidah, hal. 79)
Selamat terbawa ke dalam cerita dengan adanya kehilangan, harapan, dan pencarian makna hidup. Jangan lewatkan kesempatan untuk mengetahui apakah Kehilangan Mestika layak masuk dalam daftar bacaan wajib Kawan GNFI!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News