simbol kritik terhadap ketimpangan sosial dalam novel midah si manis bergigi emas - News | Good News From Indonesia 2025

Novel 'Midah Si Manis Bergigi Emas', Simbol Kritik terhadap Ketimpangan Sosial

Novel 'Midah Si Manis Bergigi Emas', Simbol Kritik terhadap Ketimpangan Sosial
images info

Novel 'Midah Si Manis Bergigi Emas', Simbol Kritik terhadap Ketimpangan Sosial


Sastra memiliki hubungan yang erat dengan manusia dan realitas kehidupannya. Manusia menjadi sumber inspirasi bagi lahirnya karya sastra, sementara isi sastra mencerminkan kehidupan manusia itu sendiri.

Salah satu jenis karya sastra yang kuat dipengaruhi oleh dinamika kehidupan manusia adalah novel. Oleh karena itu, sastra tidak hanya berfungsi sebagai hiburan. Namun, juga sebagai media kritik sosial dan sarana untuk mendorong perubahan kondisi masyarakat.

Karya sastra seharusnya mampu memberikan pengaruh serta meyakinkan pembaca melalui pesan yang disampaikannya.

Damono (1979:25) menyampaikan bahwa kritik sosial dalam karya sastra modern tidak lagi terbatas pada persoalan relasi antara kaum miskin dan kaya, atau antara kemiskinan dan kemewahan. Saat ini, kritik sosial dalam sastra mencakup beragam isu sosial yang muncul di tengah masyarakat.

Ketika terdapat ketidaksesuaian antara realitas sosial dengan nilai-nilai ideal, hal tersebut mendorong pengarang untuk menyuarakan aspirasinya.

Dengan demikian, kritik sosial menjadi wadah bagi pengarang untuk mengungkapkan bentuk perlawanan terhadap situasi yang dinilai tidak adil atau menyimpang dalam masyarakat.

Novel Midah, Si Manis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer pertama kali terbit pada 1954. Sebagai dari karya awal Pramoedya, novel ini menyoroti isu sosial dan ketimpangan kelas di Indonesia pascakemerdekaan.

Hingga kini, Midah tetap relevan karena mengangkat tema seperti ketidakadilan sosial, stereotip gender, dan perjuangan perempuan dalam masyarakat patriarkal.

Sinopsis Novel Midah, Si Manis Bergigi Emas

Novel Midah, Si Manis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer merupakan karya sastra yang sarat dengan kritik sosial, menjadikannya menarik untuk dikaji. Kisahnya menggambarkan perjalanan hidup seorang perempuan bernama Midah dengan cara yang menyentuh.

Midah, putri dari Haji Abdul seorang pedagang asal Cibatok yang menetap di Jakarta. Melalui narasi yang sederhana tetapi sarat makna, Pramoedya menyampaikan berbagai persoalan sosial dalam novel Midah, Si Manis Bergigi Emas.

baca juga

Terdapat empat bentuk kritik sosial yang diangkat, yaitu kekerasan, marginalisasi terhadap perempuan, subordinasi oleh laki-laki, dan stereotipe atau pelabelan negatif.

Novel ini bukan sekadar kisah tentang seorang perempuan, melainkan juga menjadi suara perlawanan terhadap struktur sosial yang timpang dan menindas.

Kekerasan fisik dalam novel Midah Si Manis Bergigi Emas tampak dalam adegan ketika Haji Abdul menampar Midah yang sedang mendengarkan lagu Moresko di rumah.

“Haram! Haram! Siapa memutar lagu itu di rumah? waktudilihatnya Midah masih asyik mengiringi lagu itu, ia tampar gadis itu pada pipinya.” (Midah Simanis Bergigi Emas, hlm. 18).

Kutipan di atas mengungkapkan adanya kekerasan verbal dan fisik yang dialami Midah dalam lingkungan keluarganya, terutama dari sosok ayah yang otoriter. Tindakan menampar Midah bukan sekadar kekerasan fisik, melainkan juga simbol dominasi patriarki yang mengekang kebebasan perempuan.

Midah dihukum karena memilih menikmati musik yang tidak sejalan dengan nilai-nilai sang ayah, yang mencerminkan penindasan terhadap jati diri dan kebebasan individu. Kekerasan ini sekaligus menunjukkan ketimpangan relasi kuasa dalam keluarga, di mana suara anak perempuan dianggap tidak penting.

Marginalisasi perempuan dan ketidakadilan gender dalam novel Midah Si Manis Bergigi Emas tercermin melalui tokoh Riah yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Ia dipecat oleh Haji Abdul karena dituduh melindungi Midah. Bentuk marginalisasi ini tampak jelas dalam kutipan berikut.

“Tidak ada orang yang bisa menjawab tuduhan bang Haji, dan karena amarahnya tidak dapat ditahannya lagi, semua orang yang bekerja di dapur diusirnya hari itu juga.” (Midah Simanis Bergigi Emas, hlm. 19)

Kutipan di atas juga mencerminkan bentuk nyata dari marginalisasi perempuan dalam ranah domestik. Tokoh Bang Haji sebagai representasi figur laki-laki berkuasa menunjukkan bagaimana emosi dan otoritasnya dapat mengendalikan nasib perempuan tanpa pertimbangan yang adil.

Para pekerja dapur yang secara implisit kemungkinan besar adalah perempuan tidak memiliki ruang untuk membela diri atau menyuarakan pendapatnya. Mereka langsung menjadi korban kemarahan sepihak tanpa proses dialog atau klarifikasi.

Bentuk subordinasi terhadap laki-laki dalam novel Midah Simanis Bergigi Emas terlihat pada posisi Nini sebagai satu-satunya perempuan dalam kelompok keroncong, yang tidak memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya.

baca juga

Perempuan dalam dunia kerja tidak berhak memimpin dan hanya ditempatkan sebagai pihak yang harus tunduk kepada laki-laki. Hal ini tercermin dalam kutipan tersebut.

Bangsat! Kau kira apa aku ini? Teriak wanita itu. Cuma satu orang perempuan yang boleh ikut rombongan. Tidak boleh lebih. Nini! Di sini aku kepalanya. Bukan engkau.” (Midah Simanis Bergigi Emas, hlm. 33)

Kutipan tersebut menggambarkan pembalikan peran gender dalam masyarakat patriarkis. Di tengah budaya yang biasanya menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan perempuan sebagai pengikut, ungkapan tegas dan keras ini menjadi simbol perlawanan terhadap norma gender tradisional.

Ia tidak hanya menolak dikendalikan, tetapi juga mengklaim posisi sebagai pemimpin dalam kelompok.

Tokoh Midah mengalami pelabelan negatif atau stereotipe dalam novel tersebut. Pekerjaan sebagai penyanyi yang dijalaninya dipandang oleh orang tua Midah dan masyarakat sekitar sebagai pekerjaan tidak bermoral bahkan asusila, seperti yang terlihat dalam kutipan tersebut.

“Apakah layak kau balas aku dengan ikut mempercepat kehancuranku? Jadi penyanyi pengamen keroncong! Jadi doger. Anakku! Anakku. Walau bagaimana juga, akhirnya dia anakku sendiri. Walau doger walau lebih buruk dari itu, dia harus kubawa pulang dan kuperbaiki.” (Midah Simanis Bergigi Emas, hlm. 68)

Kutipan di atas menggambarkan pandangan negatif yang bersifat stereotip terhadap profesi di bidang seni pertunjukan, khususnya ketika dijalani oleh perempuan, seperti penyanyi jalanan atau penari tradisional seperti doger.

Pandangan ini mencerminkan sudut pandang kalangan menengah ke atas yang cenderung menganggap seni tradisional, terutama yang melibatkan perempuan, sebagai sesuatu yang tidak pantas, liar, bahkan memalukan.

Padahal, profesi tersebut sering kali menjadi sarana bagi perempuan dari kalangan bawah untuk mengekspresikan diri sekaligus sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan sosial dan ekonomi, sebagaimana dialami oleh tokoh Midah.

baca juga

Kritik dalam novel ini disampaikan dengan dua cara, yaitu secara eksplisit dan implisit. Kritik eksplisit disampaikan secara tegas dan jelas dalam menggambarkan masalah sosial di masyarakat. Sedangkan kritik implisit disampaikan melalui gaya bahasa seperti sindiran, sinisme, simbolisme, dan humor.

Dalam Midah, Si Manis Bergigi Emas, penyampaian kritik sosial tidak menggunakan pola yang seragam, namun lebih dominan dengan pendekatan langsung dibandingkan sindiran atau kiasan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

EW
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.