Tragedi perkosaan massal terhadap etnis Tionghoa pada 1998 nyata adanya dan tidak mengada-ada. Di baliknya, terdapat pelajaran yang bisa dipetik mengenai bagaimana seharusnya perempuan dilindungi, juga perlunya penuntasan kasus secara adil.
Perkosaan massal pada tragedi kerusuhan Mei 1998 menjadi buah bibir belakangan ini. Penyebabnya adalah pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang menganggap hal tersebut sebagai rumor belaka.
"Betul nggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu nggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada nggak di dalam buku sejarah itu? Nggak pernah ada," ucap Fadli dalam program Real Talk with Uni Lubis, yang dipublikasikan IDN Times, Senin (8/6/2025).
Buntutnya, Fadli Zon panen kecaman meski telah memberi klarifikasi bahwa pernyataannya bukan untuk menyangkal korban, melainkan untuk menghindari penyimpulan yang terlalu cepat. Informasi mengenai perkosaan massal tersebut sebetulnya sudah terkonfirmasi lewat hasil temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada Juli 1998.
Rena Herdiyani, anggota badan pengurus organisasi yang fokus kepada isu perempuan, Kalyanamitra, mengatakan bahwa pernyataan Fadli adalah bentuk minimisasi kejahatan serius terhadap kemanusiaan. Padahal, perkosaan dalam konteks konflik atau kerusuhan yang menargetkan kelompok tertentu adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan yang diakui secara internasional.
"Mempertanyakan istilah "massal" seolah-olah mengurangi bobot kekejaman yang terjadi, padahal bukti-bukti dan kesaksian korban telah secara konsisten menunjukkan skala dan pola yang terorganisir." ujar Rena kepada GNFI, Rabu (18/6/2025).
TGPF menemukan bahwa setelah kerusuhan Mei 1998, di Jakarta pada 2 Juli 1998 dan 8 Juli 1998 di Solo masing-masing terdapat 2 kasus. Tercatat ada 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual.
Angka yang dicatat TGLF belum mencakup keseluruhan korban. Ada kemungkinan jumlah korban sebenarnya lebih banyak karena angka yang tercatat hanya yang dilaporkan sampai 3 Juli 1998.
Rena juga menekankan bahwa pernyataan Fadli melukai para penyintas dan keluarganya yang telah hidup dengan trauma mendalam selama puluhan tahun sekaligus menghambat upaya pengungkapan kebenaran.
"Pernyataan pejabat publik yang menyangkal kasus pelanggaran HAM adalah bagian dari pola impunitas yang terus-menerus terjadi pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia." kata Rena lagi.
Alih-alih menyangkal, pejabat publik dan masyarakat sebetuknya bisa mengambil pelajaran berharga dari perkosaan massal 1998.
Pelajaran dari Perkosaan Massal 1998
Diutarakan Rena, apa yang terjadi pada 1998 memberikan pelajaran bahwa perempuan sangat rentan menjadi target dalam situasi kerusuhan atau konflik.
"Tubuh perempuan seringkali dijadikan medan perang dan alat untuk melampiaskan kebencian komunal atau politik. Oleh karena itu perlu perlindungan khusus bagi perempuan dalam setiap kebijakan keamanan dan penanganan konflik." tuturnya.
Pelajaran lainnya adalah pentingnya negara mengakui apa yang telah terjadi pada masa lampau. Dengan perkosaan massal yang terlanjur terjadi pada 1998, pengakuan kini menjadi penting sebagai langkah awal menuju keadilan dan rekonsiliasi.
"Tanpa pengakuan resmi dari negara atas apa yang terjadi, dan tanpa pengungkapan kebenaran yang komprehensif, penyintas tidak dapat sepenuhnya pulih dan lukasejarah bangsa ini tidak akan pernah sembuh." papar Rena.
Hingga kini, para pelaku perkosaan massal 1998 belum diadili secara tuntas sementara negara secara konstitusional berkewajiban melindungi seluruh warganya tanpa terkecuali. Maka dari itu, pelajaran terakhir yang bisa dipetik adalah perlunya masyarakat menekan negara untuk melakukan pengusutan tuntas.
"Mendesak penegakan hukum dengan terus menuntut pengusutan tuntas dan akuntabilitas pelaku perkosaan massal 1998 dan pelanggaran HAM berat lainnya, termasuk mendorong pengadilan HAM ad hoc." pungkas Rena.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News