Ntobo, 2015
Memintal benang tenun, seperti napas yang tersengal di antara jari-jemari cekatan. Perlahan merapat, membentuk ikatan tak terlihatāikatan yang merajut jiwa anak-anak Kampung Ntobo ke dalam pola segitiga masa kecil, pola bunga kenangan yang mekar dalam warna-warni waktu.
Suara kayu terdengar saling menyapa. Bertemu. Berpapasan. Irama abadi yang mengawal gerak laju, menyatukan hati dengan benang-benang leluhur yang tak pernah pudar.
Perbukitan Ntobo menjadi saksi bisu. Pepohonan masih asri. Masih banyak pematang sawah yang menghampar luas menyambut siapa saja yang baru singgah di Kampung Ntobo.
Sayangnya itu dulu. Hari demi hari. Detik demi detik. Pemandangan seperti itu hampir saja musnah. Desingan alat tenun hampir benar-benar senyap dan hampa.
Hingga suatu ketika mencuat putri daerah. Perempuan bertubuh kurus. Berambut lurus. Ia rindu akan budaya tenun yang selalu menemaninya sewaktu masih kecil. Ia tidak ingin apa yang dirasakannya dulu mulai memudar. Dari matanya terpancar sinar penuh harap.
"Tenun adalah bahasa kami. Di setiap motifnya, ada cinta. Ada doa, dan sejarah", ungkap gadis pelukis asa Sosok perempuan itu bernama Yuyun Ahdiyanti. Ia percaya. Harapannya agar Ntobo seperti dulu lagi. Ntobo menjadi kampung tenun, bukanlah hal mustahil. Semesta pasti tahu. Niat yang baik akan selalu mendapat uluran tangan.
Perjuangan Penenun Asa Kampung Ntobo
Hari itu dimulai.
Ia memotret kain tenun milik orang tua pada jepretan pertama. Harus diakui memang. Tangannya masih belum begitu lihai memotret kain tenun itu. Tapi ia tidak menyerah. Tangannya sekali lagi memotret kain tenun yang khas itu.
Iseng-iseng ia mencoba posting hasil jepretannya ke Facebook. Hampir tidak ada respon sama sekali. Sekali ada respon, yang muncul masih sebatas kata-kata, "Oh, cantik, ya". Belum ada yang tertarik untuk meminang kain tenun khas di tangannya.
Maklum masih awal.
Tantangan tidak berhenti di sana. Muncul sosok pengepul dari luar tanah Ntobo. Pengepul asing yang berhasil memonopoli karya tenun khas Ntobo. Dari tangannya kain tenun itu terbeli dengan harga murah. Namun, ia berhasil menjualnya dengan harga lebih tinggi.
Yuyun prihatin melihat kenyataan itu.
Ia tidak ingin mimpinya berhenti begitu saja. Sekali lagi Yuyun mencoba. Mencoba menjajakan kain tenun itu dari satu pintu ke pintu. Ke kantor. Rumah-rumah. Sekolah. Tapi apa yang didapat? Semuanya belum mampu membeli karya tenun itu dengan harga yang tinggi.
Yuyun tidak kehabisan akal. Ia mencoba agar kain tenun itu dijual dengan metode arisan. Dengan uang yang terkumpul itu harapannya mereka mampu untuk membeli. Ternyata itu pun masih sulit. Kehadiran tenun khas Ntobo itu belum bisa diterima kehadirannya. Masyarakat masih ragu.
Mencuat sebuah ide dalam benaknya,"Bagaimana agar kain tenun khas itu bisa dikenal lebih luas?"
Akhirnya, Yuyun Menemukan Solusi!

Solusi agar tenun khas Ntobo dikenal | sumber: pexels
Lokasi Ntobo, yang jauh dari kata ramai. Perbukitan yang mengelilingi kampung itu menjadi benteng dari segala arah.
Ntobo bukan tidak ingin menolak kemajuan teknologi. Akan tetapi ia masih enggan bila karya-karya yang lahir dari pribumi Ntobo tidak begitu dihargai di luar.
Untungnya, itu tidak berlaku bagi Yuyun, pemudi asli tanah Ntobo. Takut bermimpi, itu tidak ada dalam kamus hidupnya. Yang ada baginya hanyalah terus mencoba. Mencoba dan terus mencoba.
Pintu harapan kampung Ntobo terus ia ketuk. Semangatnya hampir tidak pernah padam. Ada ratusan jiwa manusia yang menggantungkan harapan di tangannya.
Perlahan tapi pasti. Yuyun membangun jaringan kepercayaan dengan konsumen. Melalui rekomendasi para pelanggan. Melalui kepuasan konsumen.
Kain tenun khas Ntobo itu terus berbenah. Membuat inovasi yang identik dengan Ntobo.
Ia sadar. Asa tentang mewujudkan kampung Ntobo menjadi kampung tenun itu tidak bisa lakukan sendiri. Perlu mereka. Masyarakat Ntobo. Perlu uluran tangan dari mereka.
Dari situ ia berinisiatif meminjam modal dari dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) di bank. Waktu itu pernah pinjam sebesar 25 juta.
Uang sebesar itu ia bagikan pada mereka, pejuang tenun Ntobo. Mereka yang bersedia melestarikan kembali budaya tenun. Hampir setiap orang mendapat jatah modal yang sama. Kisarannya mulai dari 500 ribu hingga 1 juta.
Yuyun tidak lelah mendampingi dan membina mereka. Membimbing, mengevaluasi, menginovasi karya-karya yang telah dihasilkan oleh mereka, ibu-ibu penenun kain khas Ntobo.
Jerih payah Yuyun bersama ibu-ibu penenun itu kini mulai menunjukkan hasil. Omset yang dihasilkan sudah mencapai ranah 100 juta. Ibu-ibu penenun itu kini makin bertambah. Sekarang ada sekitar 200 orang.
Mereka, pribumi Ntobo, kini mulai percaya bahwa melalui karya tenun mereka. Mereka bisa hidup lebih sejahtera.
Ide Yuyun ini tidak hanya berhenti di Kampung Ntobo. Tapi juga terdengar dan diakui oleh Satu Indonesia Award 2024. Perjalanan menyulap kampung Ntobo telah diakui secara nasional. Tentu ini menjadi pelengkap hadiah baginya selain senyuman dari para ibu-ibu penenun yang kini bisa hidup lebih sejahtera.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News