Setiap Jumat pagi selepas salat Subuh, puluhan jamaah dari berbagai kalangan berkumpul di kompleks makam Syekh Makdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi II yang terletak di Desa Pasir Kulon, Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas.
Mereka datang bukan sekadar untuk berziarah, melainkan juga mengikuti kegiatan tahlil bersama sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT sekaligus penghormatan terhadap para leluhur yang berjasa dalam menyebarkan Islam di wilayah tersebut.
Makna di Balik Tradisi
Acara ini dipimpin langsung oleh Ketua Yayasan Syekh Makdum Wali dan Pangeran Senopati Mangkubumi II, KH. Zaeni Mubarok. Dalam suasana khidmat, para jamaah melantunkan doa dan dzikir yang ditujukan kepada Allah SWT, serta mengirimkan doa khusus bagi para tokoh besar yang dimakamkan di sana: Syekh Makdum Wali, Raden Banyak Blanak (Senopati Mangkubumi I), dan Raden Banyak Geleh (Senopati Mangkubumi II).
"Ini bukan sekadar tradisi, tetapi bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah SWT, dan juga sebagai upaya meminta keberkahan dari para wali agar segala hajat dan niat baik kita dikabulkan oleh-Nya. Di samping itu, kegiatan ini juga mempererat ukhuwah Islamiyah serta menjadi bagian dari pelestarian budaya Islam Nusantara yang diwariskan para leluhur," ujar KH. Zaeni Mubarok.
Jejak Sejarah Islam di Pasir Luhur
Menurut juru kunci makam, Muhammad Jufri, Syekh Makdum Wali adalah salah satu ulama utusan Raden Fatah dari Kesultanan Demak. Ia dikirim untuk menyebarkan ajaran Islam secara damai di wilayah Pasir Luhur sekitar abad ke-15.
Pendekatan dakwah yang dilakukan oleh Syekh Makdum Wali sangat kultural—melalui kesenian, dialog, dan akhlak lembut, sehingga diterima oleh para pemimpin lokal, seperti Raden Banyak Blanak dan Raden Banyak Geleh yang awalnya menganut kepercayaan Hindu-Buddha.
Alih-alih terjadi pertentangan, kedua tokoh tersebut malah memeluk Islam dan kemudian menjadi tokoh sentral penyebaran Islam di wilayah Banyumas. Mereka dikenal memperkenalkan Islam melalui metode damai seperti gendingan (musik tradisional), sholawatan, dan pengajian.
Cara ini membuktikan bahwa Islam dapat tumbuh dan diterima melalui pendekatan budaya tanpa kekerasan.
Kini, kompleks makam mereka tidak hanya menjadi situs sejarah, tetapi juga tempat ziarah spiritual yang ramai dikunjungi, terutama setiap hari Jumat.
Suasana di area ini terasa tenang, rindang, dan sakral, mengingatkan para peziarah akan nilai-nilai kesederhanaan, ketulusan, dan keberanian dalam dakwah.
Upaya Pelestarian dan Pencerahan
Kegiatan tahlil dan ziarah ini diharapkan terus berjalan sebagai bagian dari penguatan spiritual masyarakat. Selain menjadi ajang silaturahmi, tradisi ini juga merupakan bentuk pelestarian nilai-nilai Islam Nusantara yang memadukan antara agama, budaya, dan kearifan lokal.
"Sopo sing seneng ziarah makamé para wali, uripe sak anak turune bakal diparingi barokah."
(Barang siapa senang berziarah ke makam para wali, maka hidupnya dan keturunannya akan diberkahi.)
—KH. Marzuqi Dahlan, Lirboyo
Ungkapan ini menggambarkan keyakinan masyarakat bahwa berziarah ke makam wali bukanlah tindakan sia-sia, melainkan sarana untuk memperkuat keimanan, memperbaiki akhlak, serta meraih keberkahan hidup yang bersambung hingga ke generasi berikutnya.
Refleksi Spiritual
Pagi itu, kami awali dengan langkah-langkah penuh harap menuju makam para kekasih Allah. Suara dzikir dan angin sejuk pagi menyambut kami. Ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.
"Jika suatu tempat menghadirkan ketenangan di hatimu, maka kunjungilah ia kembali. Mungkin bukan tempat itu yang istimewa, tapi karena di sanalah hatimu merasa paling dekat dengan Allah."
Ziarah bukan hanya tentang perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan batin. Ia mengajarkan kita untuk merenung, bersyukur, dan kembali mengingat bahwa kehidupan ini sementara, dan yang abadi adalah hubungan kita dengan-Nya.
Ziarah dan tahlil di makam Syekh Makdum Wali serta para tokoh penyebar Islam di Pasir Luhur bukan sekadar ritual, tetapi bagian dari warisan spiritual dan budaya yang hidup dalam denyut masyarakat Banyumas. Tradisi ini perlu terus dijaga agar generasi mendatang tetap mengenal akar sejarahnya, bahwa Islam datang dengan cinta, bukan paksaan; dengan budaya, bukan senjata.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News