Anies Rasyid Baswedan adalah politisi dan akademisi yang telah mewarnai panggung nasional Indonesia. Dikenal sebagai sosok intelektual dengan visi tajam di mana ia kerap terjun langsung ke dalam ranah kebijakan publik dan pemerintahan.
Puncak karier eksekutif Anies sejauh ini adalah ketika ia menjabat sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta periode 2017–2022. Kepemimpinannya memimpin Jakarta ditandai dengan sejumlah program dan kebijakan strategis.
Anies juga pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada 2014-2016. Dipilihnya ia menjadi menteri diukur dari kontribusinya terhadap dunia pendidikan Indonesia sejak awal 2000-an.
Di samping kapasitasnya sebagai tokoh publik yang lekat dengan dunia akademik, Anies juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Saat berbincang bersama Good News From Indonesia, ia membagikan satu proses kreatifnya ketika menulis yaitu dengan mendengarkan musik.
Musik untuk Menulis
“Saya itu sering menggunakan musik justru untuk mendampingi kalau menulis,” ucap Anies dengan tawa kepada Good News From Indonesia dalam segmen Good Talk.
Bagi Anies, mendengarkan musik menjadi rangsangan baik saat menulis. Lagu favorit disusunnya yang diakuinya dari situ bisa memunculkan gagasan untuk merangkai kata demi kata yang membentuk kalimat serta paragraf.
Anies pun menyinggung dua lagu yang pernah membantunya menulis. Satu ialah “Waka Waka” dari Shakira yang dijadikan tembang pengantar Piala Dunia 2010 lalu.
“Waktu Indonesia Mengajar dulu, kami menulis tulisan panggilan teman-teman untuk aktif ikut. Itu lagunya ‘Waka Waka’,” ucapnya.
Selain lagu tersebut, Anies memilih lagu “Kebyar-Kebyar” dari penyanyi legendaris Indonesia, Gombloh. Menurutnya dari lagu itu ia bisa terinspirasi menulis mengenai optimisme.
“Lalu ada tulisan yang misalnya tentang optimisme. Saya dengerin lagunya Gombloh, ‘Kebyar-Kebyar’,” ungkap Anies.
Dampak Positif Polarisasi
Sebelumnya, Anies dalam obrolannya membahas mengenai polarisasi. Menurutnya polarisasi dan perpecahan ada di titik yang berbeda dengan fase yang berbeda pula. Ia menggariskan empat tahap yang dapat dilalui sebuah perbedaan pendapat yaitu polarisasi, friksi, konflik, dan perpecahan.
Polarisasi tidak hanya di dalam politik yang artinya bisa di mana saja. Anies mengambil contoh saat seseorang atau lebih dari satu orang mendukung tim kesayangannya, polarisasi pun bisa tercipta.
Maka dari itu, ia merasa butuh adanya kesadaran, ambang batas atau batasan tertentu dalam memberikan dukungan. Ia mengingatkan saat “pertandingan” sudah selesai, maka selesai jugalah polarisasi itu.
“Setelah selesai, copotlah itu jersey. Itu namanya mengelola dengan baik,” ucap Anies.
Anies mengerti ada masanya perbedaan menjadi tajam saat berkompetisi. Akan tetapi, setelah kompetisi selesai, sudah semestinya identitas kelompok yang terpolarisasi harus dilepaskan, dan masyarakat kembali menjadi utuh.
Ia mencontohkan debat Brexit di Inggris di mana polarisasinya sangat keras dan ketat, tetapi tidak menyangkut isu identitas atau ras. Ketika argumen bertubi-tubi disuarakan, publik mendapatkan pencerahan, dan setelah keputusan diambil, polarisasi pun selesai.
“Polarisasi itu akan bisa merangsang sampai pada tahap tertentu enggak asal enggak kebablasan jadi friksi, Merangsang masing-masing pihak itu untuk menyampaikan argumen, menyampaikan gagasan, berdebat, yang itu kemudian memaksa kita yang menonton menyaksikan adanya gagasan-gagasan yang saling diasah,” ungkapnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News