Siapa bilang butuh seseorang yang ‘besar’ untuk berdampak besar bagi sekitar kita? Dari tangan seorang remaja sekolah di Bandung, lahirlah gerakan hijau yang kini menjadi inspirasi nasional.
Dialah Amilia Agustin, sosok yang dikenal luas sebagai “Ratu Sampah Sekolah” karena kiprahnya dalam menggerakkan pelajar untuk peduli pada pengelolaan sampah sejak dini.
Lewat program “Go To Zero Waste School” yang dijalaninya, Amilia membuktikan bahwa perubahan lingkungan bisa dimulai dari ruang kelas, bukan hanya ruang kebijakan.
Seperti apa kisahnya dan bagaimana hal tersebut berdampak bagi lingkungan?
Lahir dan besar di Bandung, kepedulian Amilia terhadap isu lingkungan bermula ketika ia masih duduk di bangku SMP Negeri 11 Bandung. Kala itu, ia menyaksikan sendiri bagaimana sampah berserakan di lingkungan sekolah tanpa penanganan yang memadai.
Sampah kertas, plastik, hingga sisa makanan menumpuk di tempat pembuangan tanpa dipilah. Dari keresahan sederhana itulah, Amilia bertekad untuk mengubah pola pikir teman-temannya tentang cara memperlakukan sampah.
Amilia lantas mengajukan proposal Karya Ilmiah Remaja yang dinamainya “Go To Zero Waste” pada tahun 2005 kepada Young Changemakers dari Ashoka Indonesia.
Dalam ebook Astra disebutkan, sejumlah teman dan guru pendamping, Amilia mulai menyusun sistem pemilahan dan pengolahan sampah di sekolah. Mereka membagi sampah ke dalam 4 kategori: organik, anorganik, kertas, dan tetrapak.
Sampah organik diolah menjadi kompos, sementara plastik dan kertas bekas disulap menjadi berbagai produk kreatif seperti tas, dompet, dan hiasan. Program ini kemudian dikenal dengan nama “Go To Zero Waste School”.
Program ini tidak hanya menumbuhkan kesadaran di kalangan siswa, tetapi juga menularkan kebiasaan baru di lingkungan sekitar sekolah.
Setiap siswa diajak memahami nilai ekonomi dari sampah, sehingga proses pengelolaan tak hanya berdampak pada kebersihan, tetapi juga kemandirian. Hasil penjualan produk daur ulang bahkan digunakan untuk mendukung kegiatan sosial dan kebersihan sekolah.
Ketekunan Amilia dalam menjalankan program itu menarik perhatian banyak pihak, termasuk PT Astra International Tbk, yang kemudian memberikan penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards kepada Amilia pada tahun 2010 untuk kategori Lingkungan. Kala itu, dirinya menjadi salah satu penerima termuda dalam sejarah penghargaan tersebut, di mana usianya masih 18 tahun.
Penghargaan itu bukanlah akhir dari kiprahnya, melainkan awal dari langkah baru. Setelah menuntaskan pendidikan, Amilia melanjutkan perjalanannya di berbagai kegiatan edukasi dan sosial yang berfokus pada isu keberlanjutan.
Ia terlihat masih aktif membagikan pengalaman dan materi edukasi tentang pengelolaan sampah terpadu di berbagai sekolah, komunitas, dan kampus di seluruh Indonesia.
“Go To Zero Waste School” bahkan menjadi gerakan yang direplikasi di beberapa daerah lain, baik secara formal maupun melalui inisiatif pelajar dan mahasiswa.
Beberapa kampus seperti Universitas Udayana di Bali bahkan mengadopsi konsep serupa untuk menanamkan budaya hijau di lingkungan akademik.
Melalui pendekatan edukatif dan praktik langsung, Amilia menanamkan nilai bahwa mengelola sampah bukan sekadar membersihkan, tetapi juga menciptakan nilai tambah dan tanggung jawab sosial.
Kisah Amilia menjadi bukti nyata bahwa semangat perubahan bisa lahir dari generasi muda. Dalam berbagai forum, ia sering menegaskan bahwa solusi atas masalah lingkungan tidak selalu membutuhkan teknologi tinggi, melainkan kesadaran dan kemauan bersama.
Upayanya telah menginspirasi ribuan siswa di berbagai daerah untuk ikut bergerak menjaga bumi dari tumpukan sampah. Kawan GNFI, kapan giliran kita?
#kabarbaiksatuIndonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News