Di era digital yang serba cepat, komunikasi tidak lagi terbatas pada kata-kata. Istilah meme sudah tidak asing bagi kalangan yang aktif bermain media sosial. Meme yang identik dengan gambar dan tulisan lelucon telah menjadi konsumsi sehari-hari bagi pengguna internet dan media sosial.
Generasi Z adalah kelompok yang tumbuh bersama internet dan media sosial. Mereka telah menemukan bentuk bahasa baru yang disebut meme.
Bagi mereka, meme bukan hanya gambar lelucon yang menghiasi linimasa, tetapi juga simbol, sindiran, dan ekspresi budaya yang mencerminkan cara berpikir mereka. Meme menjadi media komunikasi yang singkat, jenaka, tetapi mengandung makna.
Apa Itu Meme?
Meme adalah wacana berbentuk gambar atau foto dengan tulisan-tulisan tertentu. Istilah “meme” pertama kali diperkenalkan oleh ahli biologi Richard Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene pada tahun 1976.
Dawkins mendefinisikan meme sebagai unit informasi budaya yang menyebar dan bereplikasi seperti gen dalam evolusi biologis. Dalam konteks digital, meme merupakan bentuk komunikasi visual yang hidup di ekosistem internet, khususnya di media sosial seperti Instagram, TikTok, Reddit, atau X (Twitter).
Dalam perspektif komunikasi digital, meme berfungsi sebagai bahasa sosial. Ia memungkinkan pengguna mengekspresikan opini, humor, atau kritik sosial dalam bentuk yang ringkas, visual, dan mudah diingat.
Teori Participatory Culture dari Henry Jenkins (2006) menjelaskan fenomena ini sebagai bentuk keterlibatan aktif pengguna dalam produksi dan penyebaran konten. Setiap pengguna internet bukan hanya penonton, tetapi juga kreator budaya.
Di media sosial, seseorang bisa dikenal lewat jenis meme yang ia bagikan, apakah itu meme tentang humor politik, budaya pop, atau meme dark yang penuh ironi. Dengan berbagi konten meme tersebut, pengguna internet merasa menjadi bagian dari kelompok dengan cara pandang yang serupa. Hal ini membuat meme menjadi jembatan sosial yang mempererat hubungan antarpengguna internet.
Selain itu, meme juga berperan sebagai bentuk partisipasi budaya. Siapa pun bisa menciptakan meme, mengubahnya, dan menyebarkannya ulang. Tidak ada batasan usia, status, atau latar belakang.
Inilah yang membuat budaya meme terasa demokratis dan inklusif karena siapa pun bisa menuangkan kreativitasnya. Contohnya adalah foto anjing yang duduk di ruangan terbakar sambil berkata, “This is fine.”
Meme ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang berpura-pura tenang di tengah situasi yang jelas-jelas kacau. Hal tersebut menunjukkan humor ironis Generasi Z yang menertawakan kondisi sulit dengan ekspresi pasrah.
Kemampuan meme untuk menyampaikan pesan kompleks secara singkat menjadikannya sebagai salah satu bentuk digital literacy Generasi Z. Mereka tidak hanya memahami bahasa visual, tetapi juga konteks sosial dan humor yang terkandung di dalamnya.
Hal ini menjadikan meme sebagai “bahasa baru” dalam ekosistem digital yang mengaburkan batas antara komunikasi, hiburan, dan refleksi sosial.
Dampak dari Meme
Namun, dari sisi kritis, meme juga menghadirkan tantangan. Karena penyebarannya masif dan tanpa filter, meme dapat menjadi sarana penyebaran hoaks, ujaran kebencian, atau stereotip tertentu.
Oleh karena itu, memahami meme dalam konteks digital bukan hanya soal kreativitas dan humor, tetapi juga tentang kesadaran budaya dan tanggung jawab dalam berkomunikasi di dunia internet.
Tantangan lain adalah sifatnya yang cepat usang. Tren meme silih berganti dalam hitungan hari. Apa yang lucu hari ini bisa dianggap “cringe” esok hari. Namun, justru di situlah daya tariknya. Meme mencerminkan dinamika budaya digital yang terus bergerak dan sulit diprediksi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News