eksistensi tradisi saton dalam pernikahan masa modern - News | Good News From Indonesia 2025

Eksistensi Tradisi Saton dalam Pernikahan Masa Modern

Eksistensi Tradisi Saton dalam Pernikahan Masa Modern
images info

Eksistensi Tradisi Saton dalam Pernikahan Masa Modern


Tradisi saton merupakan sebuah sistem perhitungan neptu atau nilai hari lahir dan hari pasaran dari kedua calon mempelai. Perhitungan tersebut dipercaya dapat memprediksi dan memproyeksikan kehidupan rumah tangga yang akan dijalani.

Bagi masyarakat yang memegangnya, saton merupakan wujud ikhtiar atau usaha batiniah demi memastikan keharmonisan dan keselamatan dalam bahtera rumah tangga. Namun di tengah gempuran modernitas, digitalisasi, dan pergeseran cara pandang generasi baru yang cenderung rasional, eksistensi tradisi kuno semacam saton menghadapi tantangan terbesarnya.

Pertanyaannya, masih relevankah perhitungan nasib berdasar hari lahir di zaman yang menuntut kebebasan individu dalam menentukan pilihan hidup, termasuk pilihan pasangan?

baca juga

Bedah Makna di Balik Perhitungan Saton

Dalam memahami mengapa tradisi saton bisa bertahan sedemikian lama, Kawan GNFI perlu menyelami filosofi di baliknya. Saton bukanlah sekadar ramalan untung-rugi. Dalam praktiknya seperti yang masih dijalankan di Desa Cermee, tradisi tersebut merupakan sebuah mekanisme pertimbangan yang mendalam.

Para tetua adat atau pihak keluarga laki-laki akan menghitung neptu (nilai numerik) dari hari lahir (Senin, Selasa, dan sebagainya) dan hari pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon) kedua calon pengantin.

Hasil penjumlahan neptu keduanya kemudian akan dihitung menggunakan siklus 5 hitungan yang menjadi patokannya. Setiap hitungan memiliki makna filosofis yang mendalam, yaitu sebagai berikut.

  1. Sri: Menandakan kebaikan, rezeki yang melimpah, dan keselamatan dalam rumah tangga.
  2. Lungguh: Berarti salah satu pasangan akan mendapatkan jabatan, kehormatan, atau kedudukan mulia.
  3. Dunia: Menunjukkan kebahagiaan duniawi, kekayaan materi yang berlimpah, dan kehidupan yang sejahtera.
  4. Lara: Menjadi pertanda adanya gangguan berat, penderitaan, atau penyakit dalam rumah tangga.
  5. Pati: Melambangkan penderitaan terberat, atau bahkan sering terjadinya kematian dalam anggota keluarga.

Implikasi dari perhitungan tersebut sangat serius. Apabila hasil perhitungan jatuh pada Lara atau Pati, maka perjodohan atau rencana pernikahan tersebut harus dibatalkan. Keputusan pembatalan tersebut dilakukan di masa lalu, bersifat mutlak.

Hal tersebut dipandang bukan sebagai kegagalan, melainkan sebagai bentuk kehati-hatian dan upaya preventif menghindari malapetaka di kemudian hari. Masyarakat meyakini tradisi saton sebagai warisan leluhur yang harus dihormati, sebuah pagar gaib yang melindungi kesakralan pernikahan.

baca juga

Pergeseran Nilai dan Gempuran Rasionalitas Modern

 Tradisi Saton dalam Pernikahan Masa Modern
info gambar

Tradisi Saton dalam Pernikahan Masa Modern


Zaman sudah berubah. Arus globalisasi dan kemajuan pendidikan juga sudah melahirkan generasi baru yang berpikir dengan kacamata berbeda. Logika, rasionalitas, dan data empiris kini lebih sering dijadikan pijakan dalam mengambil keputusan, termasuk keputusan paling personal sekalipun, yaitu memilih pasangan hidup.

Generasi masa kini tumbuh dengan pemahaman bahwa cinta, kecocokan karakter, kesiapan mental, stabilitas finansial, dan komitmen bersama menjadi fondasi utama sebuah pernikahan.

Dalam konteks pemikiran modern, tradisi saton yang bersifat deterministik dapat menentukan nasib baik dan buruk berdasarkan angka kelahiran sehingga terasa janggal. Kalangan berpendidikan yang terbiasa berpikir kritis, cenderung mempertanyakan validitas perhitungan tersebut. Bagaimana mungkin siklus 5 angka dapat menggagalkan sebuah pernikahan yang didasari oleh cinta dan kesepahaman?

Muncul pandangan, seperti yang juga ditemukan di masyarakat, bahwa tradisi semacam itu merupakan warisan masa lalu yang mungkin relevan pada zamannya, tetapi tidak lagi sejalan dengan semangat zaman sekarang.

Sebagian masyarakat modern, terutama yang sudah mengenyam pendidikan tinggi atau hidup di perkotaan memandang Saton sebagai tradisi yang bersifat "primitif" atau awam. Pilihan spiritualitas pun bergeser.

Sebagai ganti perhitungan neptu, banyak yang memilih jalan spiritual yang dianggap lebih rasional dan personal, seperti memperbanyak doa atau melaksanakan salat istiqharah (salat memohon petunjuk) demi memantapkan hati dalam memilih jodoh.

Kebebasan individu dalam menentukan masa depan sendiri menjadi nilai yang dijunjung lebih tinggi daripada kepatuhan buta pada tradisi yang tidak terukur secara logis.

baca juga

Akomodasi Budaya: Saton di Persimpangan Jalan

Lantas, apakah tradisi saton lantas mati dan ditinggalkan? Kenyataannya tidak sesederhana itu. Eksistensi Saton di era modern tidak dapat dilihat secara hitam-putih. Tradisi tersebut tidak sepenuhnya lenyap, tetapi juga tidak lagi berdiri kokoh sebagai otoritas tunggal yang tak terbantahkan. Saton kini berada di sebuah persimpangan jalan, mengalami proses negosiasi dan akomodasi budaya yang menarik.

Di beberapa komunitas yang masih kental memegang adat, saton tetap dijalankan dengan kepatuhan penuh. Pandangan bahwa tradisi merupakan bentuk warisan nenek moyang yang membawa berkah dan kelancaran hidup masih sangat kuat.

Bagi masyarakat Cermee, mengikuti Saton merupakan cara menghormati leluhur dan bagian dari ikhtiar kolektif keluarga.

Namun, fenomena yang lebih umum terjadi yaitu adanya akomodasi. Banyak keluarga modern, bahkan di kalangan terdidik yang tetap melakukan perhitungan saton. Namun dengan pemaknaan yang sudah bergeser. Perhitungan dilakukan bukan lagi sebagai syarat mutlak, melainkan lebih sebagai formalitas demi menghormati orang tua atau generasi yang lebih sepuh.

Saton tidak lagi menjadi penentu utama, melainkan posisinya turun menjadi salah satu bahan pertimbangan di samping faktor-faktual lain seperti bibit, bebet, dan bobot (latar belakang keluarga, pendidikan, dan karakter) calon pasangan.

Menariknya ketika hasil perhitungan saton jatuh pada Lara atau Pati, generasi sekarang tidak serta-merta membatalkan pernikahan. Generasi baru mencari "solusi" atau "jalan tengah".

Sering kali, solusi tersebut berupa ritual tambahan, sedekah, atau doa bersama yang bertujuan "menolak bala" atau menetralisir potensi buruk dari perhitungan tersebut. Saton tidak lagi menjadi vonis, melainkan menjadi sebuah peringatan kewaspadaan.

baca juga

Menempatkan Saton dalam Konteks Kekinian

Eksistensi tradisi saton dalam pernikahan masa modern merupakan cerminan dari dinamika kebudayaan Indonesia. Sebuah tradisi tidak akan bertahan jika kaku dan menolak perubahan. Namun, akan kehilangan jati dirinya jika larut sepenuhnya dalam arus modernitas. Saton berhasil bertahan karena mampu beradaptasi, bertransformasi makna dari sebuah takdir absolut menjadi sebuah kearifan lokal.

Bagi Kawan GNFI, memandang saton di masa kini mungkin bukan lagi soal percaya atau tidak percaya pada sebuah ramalan. Saton dapat dimaknai sebagai pengingat abadi dari leluhur tentang pentingnya prinsip kehati-hatian dalam melangkah ke jenjang pernikahan.

Sebuah pernikahan merupakan peristiwa besar yang pertaruhannya yaitu masa depan, sehingga segala bentuk ikhtiar, baik yang bersifat logis maupun spiritual, patut dipertimbangkan. Saton menjadi bagian dari kekayaan ritual yang menunjukkan betapa sakralnya ikatan pernikahan dalam pandangan budaya Nusantara.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

TA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.