RUU Redenominasi Rupiah ditargetkan selesai 2026. Beberapa hari ini, informasi tentang hal ini begitu santer. Kabar itu seperti pintu lama yang akhirnya benar-benar dibuka. Bertahun-tahun kita hanya melihat gagangnya digerakkan. Dibuka sedikit. Ditutup lagi. Alasan selalu sama. Dunia belum stabil. Rupiah belum kuat. Ekonomi belum siap.
Padahal persiapan teknis sudah selesai sejak 2010. Bank Indonesia sudah menyiapkan desain. Sudah menyiapkan tahapan. Sudah menyiapkan skenario transisi. Kita hanya menunggu keberanian politik.
Saya termasuk yang setuju tiga nol itu dihapus. Bukan karena ikut-ikutan. Tetapi karena kita sudah hidup terlalu lama dengan nol yang tidak diperlukan.
Di rumah makan, harga Rp.50.000, ditulis Rp 50. Orang tidak protes. Pelayan tidak bingung. Bahkan aplikasi ojol pun sering menampilkan harga dengan penyederhanaan. Tidak ada yang salah. Masyarakat sudah lebih cepat menyesuaikan diri daripada regulasinya.
Di tempat tinggal saya di Surabaya, banyak orang yang menggunakan kata "sewu" (bahasa Jawa yang berarti "Seribu") untuk menyebut sejuta rupiah. Bukan karena lucu-lucuan. Tetapi karena menyebut sejuta terlalu panjang. Terlalu banyak nol.
Nol itu sudah seperti rumput liar. Tumbuh di mana-mana. Menyulitkan mata. Menyulitkan hitungan.
Toh, kita tidak sendirian. Banyak negara sudah lebih dulu merapikan mata uang mereka. Turki melakukannya pada 2005 dan menghapus enam nol. Rumania juga pada 2005 dengan empat nol hilang. Rusia merapikan tiga nol pada 1998. Polandia lebih awal, tahun 1995, dengan pemangkasan empat nol. Meksiko menjalankan penyederhanaan tiga nol pada 1993. Korea Selatan sudah mulai sejak 1953. China menyusul dua tahun kemudian pada 1955. Ghana melakukan hal serupa pada 2007 dengan empat nol yang dibuang. Vietnam merapikan satu nol pada 1985. Ukraina menghapus lima digit besar mata uang lamanya pada 1996. Semua negara itu tidak runtuh. Tidak kehilangan daya beli. Tidak hancur nilai uangnya. Yang terjadi justru lebih efisien.
Saya melihat data negara-negara itu dan merasa Indonesia sudah sangat tertinggal. Rupiah sudah terlalu banyak nol. Di Asia Tenggara, hanya Vietnam dan Laos yang masih sama-sama memikul beban nol yang panjang. Negara lain sudah minimalis. Thailand. Malaysia. Singapura. Filipina. Angka mereka rapi. Mata uang mereka tampil wajar.
Sebagian orang mencibir rencana redenominasi. Banyak yang menolak. Ada yang takut harga naik. Ada yang takut gaji menyusut. Ada yang takut tabungan tergerus. Semua wajar. Saya sendiri kurang paham secara pasti alasan penolakan itu, ...apapun kekhawatiran mereka, redenominasi belum dilakukan, masih sekedar rencana. Bagi saya, mudah menjelaskan pada diri sendiri, dan orang-orang terdekat.
Redenominasi bukan devaluasi.
Bukan pemotongan daya beli.
Bukan pemiskinan mendadak.
Kalau saya punya satu juta, setelah redenominasi menjadi seribu. Daya belinya sama. Harga barangnya sama. Sistem hanya menyederhanakan penulisan.
Empat tujuan redenominasi yang ditulis pemerintah memang berbunyi teoritis. Efisiensi ekonomi. Kredibilitas rupiah meningkat. Stabilitas jangka panjang. Daya saing nasional naik. Tetapi manfaat praktisnya terasa dalam hal-hal sederhana.
Transaksi menjadi lebih cepat karena angka yang dipakai lebih pendek dan mudah dibaca. Pembukuan jauh lebih rapi karena laporan keuangan tidak lagi penuh deretan digit yang membingungkan. Risiko salah hitung ikut turun karena kasir, akuntan, maupun sistem digital tidak lagi bekerja dengan angka yang panjang seperti nomor telepon. Digitalisasi juga bergerak lebih efisien karena aplikasi, sistem pembayaran, dan mesin kasir memproses data yang lebih ringan. Pada akhirnya citra rupiah tampil lebih wajar di mata publik dan investor, tidak lagi terlihat sebagai mata uang yang kelebihan beban nol.

Dibuat menggunakan AI (Nano Banana, November 2025)
Tentu ada minusnya. Misalnya, pedagang nakal bisa menaikkan harga saat transisi. Pemerintah harus mengawasi ketat.
Publik harus disosialisasikan dengan jelas.
Dua mata uang harus berjalan berdampingan.
Tetapi semua negara yang sudah menjalani redenominasi melewati fase itu dengan lancar.
Jika takut masyarakat bingung, di uang baru nanti bisa ditulis angka nol kecil di bawahnya. Atau ditulis kata ribu. Atau dibiarkan sistem digital yang mengonversi otomatis. Cara ini sudah dipakai Turki dan Rumania dan berhasil.
Saya justru melihat bahwa rakyat Indonesia sudah lebih siap daripada negara. Kita yang sudah biasa menyebut lima puluh ribu sebagai lima puluh. Saya yang sudah bosan melihat harga dengan delapan digit. Kita yang sudah hidup dengan penyederhanaan diam-diam selama bertahun-tahun.
Apakah semua orang harus setuju? Tidak perlu. Sebagian orang memang lebih nyaman dengan angka panjang. Sebagian lain takut perubahan. Sebagian merasa redenominasi tidak penting dan buang-buang uang. Kalau menunggu semua setuju, mungkin 200 tahun lalu, rupiah kita makin panjang nol-nya.
Rupiah yang kita gunakan sekarang sudah terlalu berat. Terlalu panjang. Terlalu tidak praktis. Kita bukan negara besar dalam daftar nol. Kita hanyalah negara yang telat merapikan rumah.
Tahun 2026 bisa menjadi titik balik kecil yang berdampak besar. Kalau RUU benar disahkan. Indonesia tidak akan menjadi kaya mendadak. Tidak menjadi lebih kuat dalam semalam. Tetapi setidaknya kita tidak lagi hidup di bawah bayang nol yang berlebihan.
Saya akan memilih rupiah yang lebih rapi. Lebih ringan. Lebih masuk akal. Rupiah yang tidak membuat kita menghitung seperti murid kelas satu.
Tiga nol itu sudah waktunya pergi. Tidak ada yang hilang.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News