Apa dibayangkan kalian saat mendengar nama Surabaya? Kemacetan Ibu Kota Jawa Timur? Atau gema heroik 10 November?
Saya bersama kawan-kawan GNFI berkolaborasi dengan letswalk.idn yang menawarkan walking tour di Surabaya baru saja mendapatkan jawaban yang lebih kompleks dan menarik. Dalam sebuah historical city tour, saya berjalan menelusuri rute dari pusat perbelanjaan modern hingga menyingkap kisah pilu di bawah alun-alun kota.
Kami tidak hanya melihat gedung, tetapi juga mendengar kisahnya. Tentang sirine 1000 gulden yang mendeteksi pesawat asing hingga kisah diskriminasi pahit di Balai Pemuda.
Langkah Pertama: Kontras Antara Memori dan Modernitas

(dokumentasi pribadi)
Langkah pertama dimulai dari Plaza Surabaya yang dikenal sebagai Delta Plaza. Siapa sangka, di bawah hiruk pikuk pusat perbelanjaan modern ini tersimpan cerita menarik. Kami diberitahu bahwa lahan ini dulunya adalah lokasi rumah sakit militer yang didirikan Dendels.
Awalnya dikenal sebagai Marlin Hospital, RS milik Belanda ini lebih akrab di telinga pribumi dengan sebutan RS Simpang, merujuk pada letaknya berada di persimpangan. RS Simpang ini akhirnya dialihkan ke RS Dr. Soetomo karena kewalahan menangani lonjakan pasien.
Sejarah RS Simpang tidak berhenti disitu. Dikalangan masyarakat, beredar luas urban legend tentang Suster Maria, seorang suster yang tewas karena tergencet sehingga dijuluki “Suster Gepeng”.
Kisah inilah yang melatarbelakangi keunikan Plaza Surabaya. Untuk menangkal rumor yang menyelimutinya, pengelola mall secara khusus memutar musik gamelan Jawa dan suara kicauan burung. Konon, ini adalah bentuk penghormatan sekaligus upaya menenangkan arwah dan memelihara harapan agar usaha di dalamnya tidak sepi pengunjung.
Kontras yang tajam terjadi saat bergeser ke RRI Surabaya. Instansi ini dicatat sebagai salah satu yang berhasil direbut dari Jepang. Namun, pada Oktober 1945 pasukan Gurkha dari Inggris menyerang RRI untuk mengembalikan kekuasaan Belanda.
Pertempuran meledak, gedung pun sempat dibakar massa. Pertempuran ini dimenangkan oleh arek-arek Suroboyo berkat keberaniannya. Menjadikan RRI simbol dari gema heroik kedaulatan.
Sementara itu, WTC memberikan pelajaran tentang adaptasi pasca krisis. Gedung ini awalnya dirancang sebagai wadah bagi bos Indonesia Timur untuk melakukan perdagangan dan bisnis. Namun, ketika krisis moneter melanda, para pebisnis enggan mengeluarkan biaya transportasi lebih untuk mengadakan pertemuan, sehingga WTC menjadi sepi.
Situasi ini memaksa pengelola berinovasi. Alih fungsi pun dilakukan, menyewakan lapak untuk penjual ponsel hingga WTC dijuluki sebagai World Telepon Center. Cerita ini menunjukkan betapa dinamisnya Surabaya dalam menghadapi tantangan zaman.
Jejak Perjuangan di Urat Nadi Kota

(dokumentasi pribadi)
Kami menyeberangi Jembatan Kalimas yang dikenal sebagai Jembatan Peneleh, menghubungkan wilayah Peneleh dan Alun-Alun Contong. Sungai Kalimas adalah saksi bisu pentingnya perairan sebagai sarana transportasi sejak masa kolonial. Jembatan ini juga menjadi garis depan pertahanan arek-arek Suroboyo. Digunakan sebagai penghadang bagi pasukan sekutu yang bergerak dari utara (Jalan Pahlawan) dalam pertempuran.
Dari pusat perlawanan, beralih ke pusat pemerintahan. Kami singgah di depan Rumah Dinas Walikota Surabaya. Tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, rumah ini juga menjadi panggung ramah tamah bagi tamu lokal maupun mancanegara.
Yang menarik, kami mendapat cerita bahwa hidangan wajib dan favorit para tamu mancanegara adalah Rawon, yang mereka sebut black soup karena kuahnya yang hitam pekat. Detail kecil ini menyiratkan bagaimana kuliner lokal turut menjadi duta budaya di panggung internasional.
Monumen 1000 Gulden dan Bunker Rahasia

(dokumentasi pribadi)
Perjalanan berlanjut ke Balai Kota Surabaya. Arsitek Citroen merancang gedung ini sebagai bagian dari pengembangan kota. Arsitekturnya dibuat bergaya tingkatan dan tidak menghadap arah pergerakan matahari. Fakta yang menarik perhatian Kawan GNFI adalah julukan “Gedung 1000 Gulden”, merujuk pada biaya pembangunan mata uang Belanda.
Di atap Balai Kota, terdapat sirine berbentuk menyerupai teropong. Sirine ini adalah buatan Belanda yang berfungsi mendeteksi masuknya pesawat asing ke Surabaya. Hari ini, sirine tersebut tidak lagi bertugas mendeteksi ancaman, tetapi dibunyikan pada momen penting seperti Hari Ulang Tahun Kota dan Hari Pahlawan.
Kisah misterius kemudian menyambut kami di Gereja Maranatha. Gereja tua dengan menara bergaya Eropa ini konon memiliki cerita tentang keberadan jaringan bunker rahasia peninggalan Belanda. Diceritakan, terdapat dua jalur bunker yang salah satunya tembus ke Balai Kota, dan jalur lainnya tembus ke Gereja Maranatha. Meskipun sebagian jalur telah ditutup beton, keberadaan kisah ini menambah aura historis yang mencekam sekaligus memikat.
Manisnya Tutty Fruity dan Kepahitan Diskriminasi

(dokumentasi pribadi)
Melanjutkan perjalanan, kami berhenti sejenak didepan Patung Jenderal Sudirman. Kami diingatkan bahwa Sang Jenderal adalah alumni PETA yang terkenal dengan siasat perang gerilyanya di Ambarawa.
Ditengah penyakit yang dideritanya saat berperang, Jenderal Sudirman pernah mengucapkan kalimat yang melegenda: “Sudirman memang sakit, tapi Jenderal tidak”. Kalimat ini adalah representasi teguh dari jiwa kepemimpinan yang tak pernah menyerah pada keadaan. Menariknya, Patung Sudirman ini berdiri di Jalan Yos Sudarso yang namanya tetap dipertahankan karena dulunya di sana terdapat rumah dinas Yos Sudarso.
Setelah kisah perjuangan, kami menyegarkan diri di Zangrandi, kedai es krim legendaris. Kami mengetahui bahwa Zangrandi dulunya bernama R.Zangrandi yang didirikan oleh Roberto Zangrandi dari Italia.
Pasca masa bersiap, Zangrandi memilih kembali ke Italia dan menghapus huruf ‘R’ pada namanya. Es krim andalan mereka Tutty Fruity menjadi penutup manis dengan fakta unik, yakni es krimnya cepat leleh karena tidak menggunakan pengawet.
Akhir perjalanan ditutup dengan kunjungan ke Balai Pemuda dan Alun-Alun Surabaya. Balai Pemuda dulunya dikenal sebagai De Simpangsche Societeit, tempat hiburan dansa eksklusif kaum Eropa. Diskriminasi masa itu sangat kentara.
Di depan air mancur, dulunya terdapat prasasti kepala singa bertuliskan larangan yang menyakitkan: “anjing dan pribumi dilarang masuk”. Bahkan, pramusaji pribumi disebut jongos dan harus membawa makanan di atas kepala agar tidak terkena ludah serta dilarang menggunakan alas kaki.
Sementara itu, Alun-Alun Surabaya yang baru adalah hasil revitalisasi modern. Di sana kami mendapat kisah yang mengharukan, Surabaya sempat tidak memiliki alun-alun karena digusur Belanda.
Saat proses penggalian revitalisasi, ditemukan fragmen tulang peninggalan masa lalu, diduga milik orang Eropa yang dieksekusi oleh amarah pribumi pada Masa Bersiap. Hal ini menjadi pengingat pahit tentang pergolakan yang pernah melanda kota.
Semangat GNFI di Kota Pahlawan

(dokumentasi pribadi)
Perjalanan sejarah yang dilalui bersama Kawan GNFI ini bukan sekadar tugas, melainkan sebuah pengingat berharga. Surabaya mengalami evolusi dari pusat kolonial, medan pertempuran revolusioner, hingga menjadi metropolis yang cerdas dan inklusif.
Mari jadikan vibes positif dariBerKawan sebagai semangat baru, agar kita semua semakin bangga dan terus aktif menyuarakan kekayaan Indonesia. Dengan begitu, kita akan benar-benar #MakinTahuIndonesia. Sampai jumpa di kisah baik selanjutnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News