Survei Indeks Optimisme Indonesia yang digelar oleh Good News From Indonesia (GNFI) dari tahun ke tahun memberikan gambaran yang menarik mengenai dinamika rasa percaya diri masyarakat terhadap masa depan bangsa. Data yang dikumpulkan sejak 2009 menunjukkan sebuah tren yang berubah.
Pada tahun 2009, sebuah survei terhadap 3700 anak muda di bawah 30 tahun menghasilkan angka yang mengejutkan. Sebanyak 83.5% responden menyatakan pesimis terhadap masa depan Indonesia. Latar belakang pesimisme ini diduga kuat karena dominannya pemberitaan negatif di media pada masa itu, yang memicu lahirnya GNFI sebagai wadah untuk menyebarkan narasi-narasi positif.
Memasuki periode 2018 hingga 2023, tren ini berbalik secara signifikan. Setiap survei GNFI mencatat angka optimisme yang konsisten tinggi. CEO GNFI, Wahyu Aji, menjelaskan fenomena ini dengan menyebut adanya "bias positif", di mana masyarakat cenderung menjawab optimis ketika ditanya tentang masa depan tanpa konteks yang mendetail.
"Jadi orang, kalau ditanyain apakah kamu optimis atau pesimis, jawabannya adalah optimis. Walaupun dalam hati mereka gak tau ceritanya seperti apa," ujar Wahyu Aji dalam sambutannya membuka Bangkit Fest 2025.
Namun, survei terbaru pada 2025 dengan metodologi yang diperbarui dengan memberikan konteks spesifik di berbagai bidang menunjukkan penurunan drastis angka optimisme. Indeks optimisme turun ke angka 5.51 dari skala yang sebelumnya selalu di atas 6.
"Entah karena pertanyaan kita ubah, kasih konteks, atau kondisi. Ternyata 2025 itu turun drastis," tambah Wahyu. Penurunan ini mengindikasikan bahwa ketika dihadapkan pada realitas dan fakta di lapangan, tingkat kepercayaan masyarakat menjadi lebih kritis.
Pesimisme Politik dan Optimisme Budaya
Analisis lebih lanjut dari survei 2025 mengungkap variasi tingkat optimisme dari berbagai sektor. Ternyata politik dan pemerintahan memiliki angka skeptisisme tertinggi.
“Politik itu selalu jadi yang skeptis paling tinggi. Anak muda gak percaya. Orang gak percaya dengan politik," papar Aji. Di sisi lain, harapan justru bersinar dari sektor budaya dan kreativitas, yang mencatat tingkat optimisme paling tinggi, diikuti oleh sektor sosial dan toleransi. "Ternyata, responden itu paling tinggi optimismenya di bidang budaya,” tegas Aji.
Data ini menjadi landasan filosofis diselenggarakannya Bangkit Fest oleh GNFI. Acara ini tidak lagi berhenti pada pertanyaan apakah masyarakat optimis atau pesimis, tetapi melangkah lebih jauh dengan menciptakan ruang untuk mencari solusi dan cara untuk bangkit.
“Kita berhenti pada pertanyaan, yuk kita bangkit, yuk kita optimis, tanpa ngasih konteks di penjelasannya. Kita perlu tahu caranya bangkit," jelas Wahyu. Bangkit Fest hadir sebagai jembatan antar berbagai pemangku kepentingan. Dialog yang dilakukan harapannya menjadi jembatan atas solusi yang lahir dari berbagai kalangan.
Kebudayaan, Kekuatan di Era Digital
Pembicara kunci dalam acara tersebut, Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha, membangun optimisme tersebut dengan memaparkan potensi besar Indonesia di bidang kebudayaan. Ia menyatakan bahwa Indonesia adalah “Negara adidaya di bidang kebudayaan” dan "Negara super power di bidang kebudayaan."
Pernyataan ini bukan tanpa alasan, terutama di era digital dimana demokratisasi akses telah terjadi. Giring membandingkan kondisi 20 tahun lalu dimana seniman harus melalui gatekeeper seperti label besar dan media mainstream di Jakarta untuk bisa dikenal, dengan kondisi sekarang dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama melalui platform digital seperti YouTube, Spotify, dan TikTok.
"Semua orang punya kesempatan yang sama. Kalau dulu saya pernah ditolak label, tapi kalau sekarang mereka gak butuh lagi label," kata Giring. Perubahan ini tidak hanya berlaku untuk musisi, tetapi juga untuk aktor, sutradara, dan semua pelaku kreatif. Era digital ini telah melahirkan fenomena dimana Indonesia disebut sebagai "trigger country of the world".
Giring menjelaskan, "Indonesia adalah negara yang menjadi pemicu awal ledakan popularitas sebuah lagu." Kekuatan ini terletak pada netizen Indonesia yang aktif dan keunikan budaya lokal yang menjadi bahan kreativitas. Giring mencontohkan bagaimana musisi internasional seperti Niki memasukkan unsur alat musik tradisional dalam lagunya, atau bagaimana lagu-lagu daerah dan kolaborasi unik seperti "Garam dan Madu" mendapat perhatian global.
“Justru sekarang adalah momentumnya bahwa kita harus semakin semangat dan gak usah malu-malu lagi untuk memperkenalkan budaya kita," tegasnya. Ia juga menyoroti kesuksesan film "Abadi Nan Jaya" di Netflix dan upaya mendaftarkan Tempe sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO pada 2026 sebagai bukti bahwa menjadi diri sendiri justru diminati dunia. Dengan menjadi asli Indonesia, dunia pasti akan menerima,” pungkasnya.
Warisan Budaya Indonesia Road to UNESCO
Lebih dari sekadar produk kesenian, Giring Ganesha menekankan bahwa nilai-nilai kearifan lokal Indonesia adalah kontribusi terbesar yang dapat diberikan kepada dunia. Ia merujuk pada filosofi "Tri Hita Karana" dari Bali yang berarti harmoni dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Nilai serupa, meski dengan sebutan berbeda, tersebar di seluruh Nusantara, misalnya "Alam Takambang Jadi Guru" di Minangkabau.
"Kebudayaan leluhur kita mengajarkan keharmonisan dengan Tuhan dengan sesama dan dengan alam," ujarnya. Dari nilai-nilai harmoni inilah lahir berbagai ekspresi kebudayaan sebagai wujud rasa syukur dan perayaan atas kemanusiaan. Dalam konteks dunia yang penuh dengan ketidakpastian geopolitik dan potensi konflik, Giring meyakini bahwa dunia justru membutuhkan kehadiran kebudayaan Indonesia. "Dunia butuh film-film Indonesia. Dunia butuh lagu-lagu Indonesia. Di atas semuanya, dunia butuh way of life seperti Tri Hita Karana,” tegas Giring.
Bangkit Fest 2025, dengan fokus pada dialog di bidang budaya, pendidikan, ekonomi kreatif, dan kolaborasi, menjadi respons dari menurunnya optimisme masyarakat Indonesia. Acara ini adalah wujud nyata dari upaya untuk mentransformasi optimisme abstrak menjadi sebuah gerakan kolektif.
Dengan mempertemukan berbagai pihak, dari pemerintah, pelaku kreatif, hingga masyarakat umum, GNFI berusaha mengukuhkan bahwa meski kepercayaan pada sektor politik mungkin tengah diuji, semangat untuk bangkit justru hidup melalui kekuatan budaya, kreativitas, dan kolaborasi seluruh anak bangsa.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News