qris menyetarakan warung kopi dengan korporasi - News | Good News From Indonesia 2025

QRIS: Menyetarakan Warung Kopi dengan Korporasi

QRIS: Menyetarakan Warung Kopi dengan Korporasi
images info

QRIS: Menyetarakan Warung Kopi dengan Korporasi


Di saat lanskap digital global diwarnai oleh masalah privasi data dan krisis kepercayaan publik terhadap institusi teknologi, Indonesia justru mencatatkan sebuah anomali. Ekosistem sistem pembayaran digital kita, yang diorkestrasi Bank Indonesia, dilaporkan memproses transaksi fantastis senilai lebih dari Rp60.000 triliun. Angka ini adalah sinyal kuat bahwa kepercayaan publik terhadap sistem ekonomi digital nasional mulai terbangun secara masif.

Kepercayaan ini adalah "modal sosial" yang krusial. Tanpa kepercayaan, visi besar "Indonesia Emas 2045", terutama agenda pemerataan pembangunan, mustahil tercapai. Fenomena ini membuktikan bahwa teknologi, jika diatur dengan benar, dapat menjadi alat ampuh untuk merekonstruksi kepercayaan, bukan menggerusnya.

Kawan GNFI semua tahu, tulang punggung ekonomi kita adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan mereka menyumbang 61% PDB dan menyerap 97% tenaga kerja nasional. Namun, ironisnya, selama bertahun-tahun mereka justru menjadi kelompok yang paling terpinggirkan dari revolusi digital.

Sebelum 2019, pedagang pasar atau tukang cukur harus memajang 5 hingga 10 kode QR berbeda dari berbagai dompet digital. Jika seorang pembeli hanya punya dompet digital A, sementara warung hanya punya kode B dan C, transaksi gagal. Ini adalah friksi. Bagi UMKM, kondisi ini berarti potensi kehilangan penjualan, kerumitan pembukuan, dan biaya Merchant Discount Rate (MDR) yang tidak standar. Sistem ini terfragmentasi dan mahal bagi pedagang kecil.

Secara de facto, ini adalah sistem "ekstraktif" yang hanya menguntungkan segelintir pemain besar (PJSP) dengan ekosistem tertutup. Mereka berlomba mengakuisisi merchant untuk ekosistem eksklusif mereka sendiri. Ada kesenjangan nyata antara retorika inklusi keuangan dan realitas eksklusi di lapangan.

Lalu, Bank Indonesia (BI) mengambil langkah tegas dengan meluncurkan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) pada Agustus 2019.

Kekuatan magis QRIS bukanlah pada teknologi kode QR-nya, melainkan kata terakhirnya "Standardisasi". BI "memaksa" semua Penyedia Jasa Pembayaran (PJSP) baik bank besar, fintech baru, maupun dompet digital untuk mematuhi satu standar tunggal yang interoperabel. Satu kode QR untuk semua aplikasi pembayaran.

Ini adalah langkah kebijakan fundamental. Menggunakan kerangka berpikir ekonom Daron Acemoglu dan James Robinson dalam buku "Why Nations Fail", BI telah mengubah "institusi ekonomi ekstraktif" menjadi "institusi ekonomi inklusif".

Jika institusi ekstraktif dirancang untuk menyedot sumber daya dari banyak pihak ke segelintir elite, institusi inklusif justru dirancang untuk menciptakan lapangan bermain yang setara dan mendistribusikan kesempatan secara adil. QRIS menetapkan satu aturan main yang setara bagi warung kopi di pinggir jalan hingga korporasi multinasional.

Standardisasi QRIS adalah katalisator pemerataan sejati dan pilar esensial untuk transformasi ekonomi digital Indonesia. Fenomena "transaksi triliunan" itu adalah bukti kuantitatif dari kepercayaan publik yang berhasil direkonstruksi di atas fondasi sistem yang adil.

Buktinya? Data primer Bank Indonesia hingga Semester I 2025 mencatat QRIS telah menjangkau 57 juta pengguna dan 39,3 juta merchant. Angka yang paling krusial adalah 93,16% dari merchant tersebut adalah UMKM. QRIS telah menjadi gerbang utama yang membawa puluhan juta UMKM yang sebelumnya unbanked dan invisible masuk ke dalam ekosistem ekonomi formal.

Dampaknya langsung relevan dengan target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), seperti SDG 8 (Pertumbuhan Ekonomi) dan SDG 11 (Komunitas Berkelanjutan). Digitalisasi mempermudah transaksi dan memperluas pasar. Studi di Kalianda, Lampung, membuktikan peningkatan pendapatan UMKM.

Lebih penting lagi, pemerataan ini tidak hanya terjadi di kota besar. Studi krusial di perdesaan Nias menemukan QRIS signifikan mendorong inklusi keuangan di sana. Ini bukan sekadar kemudahan, tapi pergeseran kultural dari ekonomi tunai yang berisiko (rentan pencurian, sulit terlacak) ke ekonomi digital yang tercatat dan aman.

QRIS juga menjadi fondasi infrastruktur digital yang kritis, sejalan dengan SDG 9 (Industri dan Inovasi). Fondasi ini bahkan telah melintasi batas negara. QRIS Antarnegara (cross-border) kini telah dapat digunakan di Thailand, Malaysia, dan Singapura. Ini adalah implementasi nyata dari integrasi ekonomi digital regional, yang memperluas pasar UMKM kita ke wisatawan asing.

Namun, transformasi paling fundamental bukanlah pada transaksinya, melainkan pada data yang dihasilkannya. Inilah revolusi senyap yang sesungguhnya. Sebelum QRIS, puluhan juta UMKM itu "tak terlihat" oleh sektor perbankan formal karena tidak memiliki agunan atau laporan keuangan. Bank tidak memiliki data untuk menilai kelayakan kredit mereka.

Kini, setiap transaksi mereka tercatat secara digital. Data inilah yang menjadi fondasi emas bagi digital credit scoring. UMKM yang dulu unbankable kini memiliki rekam jejak finansial sah untuk mengajukan pinjaman modal kerja. Ini adalah pukulan telak yang memutus mata rantai ketergantungan pada rentenir atau pinjaman informal berbunga tinggi yang menjerat mereka dalam kemiskinan. Akses modal inilah yang akan memicu lompatan produktivitas dan skala usaha mereka.

Tentu, rekonstruksi kepercayaan ini tidak tanpa tantangan serius. Pertama, kesenjangan infrastruktur atau "digital divide". Laporan APJII masih menunjukkan kesenjangan kualitas internet antara kota dan desa, yang vital untuk transaksi real-time. Tanpa internet merata, QRIS bisa menciptakan kesenjangan baru. Kedua, literasi dan keamanan.

Maraknya modus penipuan, seperti penggantian stiker QRIS palsu atau phishing, adalah ancaman yang serius. Satu kasus penipuan yang viral dapat merusak kepercayaan jutaan orang yang sudah susah payah dibangun. Edukasi dan literasi digital yang masif, serta respons cepat dari regulator menjadi sebuah keharusan untuk meminimalisir terjadinya hal tersebut.

Pada akhirnya, QRIS adalah studi kasus sukses bagaimana Indonesia dapat merancang sebuah institusi inklusif yang merekonstruksi kepercayaan publik. Ia bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan intervensi kebijakan fundamental yang mengubah lanskap ekonomi dari eksklusif menjadi inklusif.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MF
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.