Ruang Teater Museum Sejarah Jakarta terasa lebih hidup pada Sabtu, 8 November 2025. Anak-anak muda dari berbagai kampus berkumpul bersama masyarakat umum yang memiliki ketertarikan pada sejarah Jakarta.
Mereka datang dengan tujuan yang sama: belajar bagaimana menjadi penutur kisah kota yang baik. Workshop kepemanduan wisata ini diselenggarakan oleh Klub Tempo Doeloe (KTD) dan didukung penuh oleh Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi DKI Jakarta.
Sejak sesi pertama dimulai, suasana belajar terasa hangat dan interaktif. Materi dibawakan oleh Ketua Umum KTD, Adrianus Waranei Muntu, S.Hum., M.Par., yang berbagi pengalaman tentang dunia kepemanduan wisata, industri hospitality, hingga dinamika pariwisata Jakarta.
Ia menjelaskan bahwa seorang pemandu tidak hanya bertugas memberi informasi, tetapi juga membangun suasana yang membuat wisatawan merasa terhubung dengan tempat yang mereka kunjungi. Penyampaian materi dilakukan dengan contoh nyata, membuat peserta mudah memahami peran pemandu dalam menjaga citra pariwisata kota.
Selain teori, workshop ini juga mengedepankan adab kepemanduan. Peserta diajak memahami etika berbicara, sikap tubuh, hingga cara menjaga profesionalitas ketika menghadapi berbagai karakter wisatawan. Bagian ini membuat banyak peserta menyadari bahwa menjadi pemandu wisata adalah profesi yang membutuhkan empati, kesabaran, dan kecakapan komunikasi.
Keberagaman peserta membuat suasana workshop semakin kaya. Banyak mahasiswa dari berbagai kampus hadir, mulai dari Ilmu Komunikasi, Hubungan Masyarakat, hingga Ilmu Sejarah. Selain itu, sejumlah siswa sekolah menengah juga mengikuti kegiatan ini sebagai sarana belajar luar kelas. Kegiatan yang tidak dipungut biaya ini memberikan kesempatan luas bagi anak-anak muda Jakarta untuk mengembangkan kemampuan diri dan menambah relasi baru.
Sesi paling ditunggu adalah praktik lapangan di Museum Fatahillah. Di sini, peserta diminta untuk memandu rombongan kecil secara langsung. Mereka belajar menata alur cerita, menyampaikan fakta sejarah, dan mengajak pendengar membayangkan suasana masa lampau. Banyak peserta terlihat gugup pada awalnya, tetapi dukungan dari teman-teman membuat suasana menjadi lebih menyenangkan. Praktik ini menjadi momen yang memberi banyak pelajaran sekaligus kepercayaan diri bagi peserta.
Beberapa dari mereka berbagi kesan setelah mengikuti workshop.
Friska Mutiara Ramadhani, dari Universitas Mercu Buana, mengatakan bahwa kegiatan ini membuka wawasannya tentang cara bercerita dan menyampaikan informasi sejarah dengan lebih menarik. Ia merasa interaksi antar peserta membuat proses belajar semakin bermakna.
Dari Universitas Indonesia, Muhammar Wildan Anugrah Firdaus menemukan bahwa workshop ini mempertemukan minatnya pada sejarah dan dunia komunikasi. Ia sangat menikmati sesi praktik yang membuatnya bisa menggabungkan dua bidang yang ia sukai.
Sementara itu, Keisya Naquila Ramadhani, siswi SMA PGRI 4 Jakarta, mengaku sesi pencarian objek sejarah di sekitar museum menjadi pengalaman paling seru. Ia merasa keberaniannya tumbuh ketika harus mempresentasikan temuan tersebut di depan peserta lain.
Ketua pelaksana acara, Lazuardi Iman, menjelaskan bahwa workshop ini bertujuan mencetak penutur sejarah Jakarta yang profesional. Ia menekankan pentingnya menyampaikan cerita kota dengan iman, ilmu, dan amal sebagai wujud merawat memori kolektif Jakarta secara bijak.
Sebagai peserta, penulis melihat kegiatan ini sebagai pengalaman berharga. Walaupun gratis, seluruh rangkaian acara dipersiapkan dengan rapi. Dari pemateri berpengalaman, sesi diskusi yang hangat, waktu istirahat yang nyaman, hingga praktik lapangan yang terarah, semuanya memberi kesan mendalam.
Seperti kata George Santayana, “Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.”
Belajar sejarah bukan sekadar mengenang, tetapi memahami agar kita bisa melangkah lebih bijak.
Semoga kegiatan seperti ini terus berlangsung, agar semakin banyak anak muda yang mengenali kotanya dan merawatnya lewat cerita yang mereka bawa sendiri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News