K.H. Anwar Iskandar terpilih kembali sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk periode 2025–2030. Kiprah Kiai Anwar menunjukkan bahwa kepemimpinan moral dan intelektualnya mendapat kepercayaan luas.
Sebenarnya, siapa K.H. Anwar Iskandar?
Lahir dan Tumbuh dalam Tradisi Pesantren
K.H. Muhammad Anwar Iskandar lahir pada 24 April 1950 di Desa Berasan, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur.Sejak kecil, ia tumbuh di lingkungan pesantren. Lingkungan pesisir selatan Jawa Timur merupakan tempat tumbuhnya tradisi pesantren yang kelak membentuk karakter keulamaan beliau. Bahkan, ayahnya sendiri, K.H. Iskandar, mendirikan dan mengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ulum.
Meski ayahnya memiliki pesantren, K.H. Muhammad Anwar Iskandar tidak hanya belajar pada ayahnya. Ia merantau ke Pesantren Lirboyo, Kediri, untuk memperdalam ilmunya di bawah bimbingan tokoh besar seperti K.H. Mahrus Ali.Selain mengaji di Lirboyo, ia juga pernah mengaji di pondok pesantren lainnya, seperti Ploso Kediri, Sarang Rembang, Mranggen Demak, dan ilmu Falak di Jember.
Selain pendidikan pesantren, ia juga mengejar pendidikan formal. K.H. Muhammad Anwar Iskandar merupakan alumni Sastra Arab di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN). Sebelumnya, ia telah mendapat gelar Sarjana Muda dari Perguruan Tinggi Tribakti Kediri.
Kombinasi ilmu pengetahuan pesantren tradisional dan pendidikan formal membentuk karakter intelektualnya. K.H. Muhammad Anwar Iskandar tidak hanya menguasai fiqih dan tafsir, tetapi juga paham betul dinamika sosial, politik, dan pendidikan modern.
Perjalanan Organisasi dan Kepemimpinan
Sejak muda, Kiai Anwar aktif di organisasi santri. Ia terlibat aktif di IPNU saat masih menjadi pelajar, dan menjabat sebagai ketua PMII semasa kuliah di Universitas Tribakti. Tak berhenti di situ, saat melanjutkan studinya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia juga masuk ke dalam jajaran pengurus pimpinan pusat PMII. Lebih jauh lagi, pada 1975 ia terpilih sebagai Ketua GP Ansor Kediri selama dua periode.
Dalam struktur NU, kiprahnya terus naik, mulai dari dari Rais Syuriyah PCNU Kediri, kemudian Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur.Selain itu, ia menjabat sebagai Wakil Rais ‘Aam PBNU untuk khidmah 2022–2027.
Tidak hanya di organisasi keagamaan, Anwar juga pernah memasuki ranah politik. Ia pernah menjadi Ketua Dewan Syuro PKB Jawa Timur dan tercatat sebagai anggota MPR utusan daerah Jawa Timur.
Di dunia pendidikan, ia mendirikan dua yayasan, yakni Yayasan Assa’idiyah di Jamsaren dan Yayasan Al-Amien di Kediri. Kedua lembaga mendidik ribuan santri dan pelajar hingga saat ini.
Kepemimpinan di MUI: Amanah dan Visi Persatuan
Puncak peran nasionalnya saat ia memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia pertama kali menjabat Ketua Umum menggantikan K.H. Miftachul Akhyar pada 2023.
Sebelum ditetapkan sebagai Ketua Umum MUI, Kiai Anwar Iskandar menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI periode 2020-2025. Dalam Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) yang disampaikan di Munas XI, ia menyatakan bahwa lima tahun kepengurusan sebelumnya menjadi fondasi kokoh menghadapi isu-isu berat, dari radikalisme, ketidaksetaraan sosial, hingga perubahan teknologi yang memengaruhi kehidupan keagamaan.
Salah satu gagasan yang konsisten ia suarakan adalah pentingnya menjaga ukhuwah Islamiyah sebagai dasar persatuan umat. Dengan latar belakang pesantren dan organisasi, ia memandang bahwa ulama memiliki peran strategis tidak hanya dalam fatwa agama, tetapi juga dalam menjaga keharmonisan sosial dan politik.
Dalam Musyawarah Nasional (Munas) XI MUI, pada 22 November 2025, ia terpilih kembali sebagai Ketua Umum MUI periode 2025–2030 melalui mekanisme Ahlul Halli wal Aqdi (sistem formatur).
"Untuk Ketua Umum, KH Anwar Iskandar," ujar Buya Amirsyah Tambunan, saat pembacaan hasil sidang pleno ke-12 Munas XI yang dipimpin oleh H Masduki Baidlowi sebagai Ketua SC.
Sistem Ahlul Halli wal Aqdi adalah metode musyawarah di mana para formatur (dalam kasus ini berjumlah 19 orang) memilih pemimpin berdasarkan kesepakatan.Karena dipilih lewat musyawarah mufakat, kepemimpinannya dianggap sebagai hasil konsensus ulama dan pemangku kepentingan MUI.
Dalam pidato Munas XI, Kiai Anwar menegaskan beban tanggung jawabnya. Ia berkata bahwa stabilitas nasional tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah atau aparat keamanan. Ulama dan negara harus berkolaborasi menjaga persatuan dan kedamaian umat.
Menurutnya, MUI harus tetap menjadi pedoman moral umat Islam, bukan alat politik semata. Ia melihat MUI sebagai institusi yang bisa menjembatani perbedaan pandangan, menjaga ukhuwah Islamiyah, dan menjaga peran ulama sebagai penopang stabilitas sosial agama dan bangsa.
Karakter Kepemimpinan: Moderat, Tenang, dan Inklusif
Kharisma Kiai Anwar tidak hanya terletak pada wawasannya, melainkan juga pada gaya kepemimpinannya. Ia dikenal tenang, argumentatif, dan mampu menjadi penengah di forum ulama yang kompleks. Dalam MUI, ia dipandang oleh banyak pihak sebagai sosok yang mampu merangkul beragam pandangan.
Di bawah kepemimpinannya, MUI diharapkan menjadi lembaga yang lebih responsif terhadap tantangan zaman, mulai dari digitalisasi fatwa, isu kerukunan antaragama, hingga perubahan sosial seperti kemiskinan, radikalisme, dan dampak modernisasi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News