Kelulusan seharusnya menjadi awal perjalanan menuju dunia profesional yang penuh harapan. Namun ,bagi banyak fresh graduate hari ini, langkah itu justru dipenuhi tekanan dan kecemasan.
Belum lama bekerja, banyak dari mereka sudah merasakan burnout yang merupakan sebuah kondisi kelelahan fisik dan mental yang biasanya muncul setelah bertahun-tahun bekerja.
Fenomena ini bukan sekadar cerita media sosial. Gen Z menjadi kelompok paling rentan, di mana 91% menghadapi tantangan kesehatan mental dan 35% mengalami depresi (Indonesia Millennial Report, 2022).
Data ini memperlihatkan bahwa lingkungan kerja modern tidak memberikan ruang adaptasi yang memadai.
Benturan antara Idealisme Kampus dan Realitas Kantor
Burnout pada fresh graduate sering bermula dari jurang besar antara apa yang dibayangkan dan apa yang terjadi di kantor.
Di kampus, kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Namun ketika memasuki dunia kerja, kesalahan kecil dapat dianggap sebagai kegagalan profesional.
Fresh graduate sering dituntut serba bisa, cepat menangkap instruksi, dan selalu siap menjalankan tugas baru serta sering kali tanpa panduan yang jelas. Tidak heran bila kelelahan mental muncul di bulan-bulan pertama bekerja.
Budaya Kerja Toxic yang Masih Mengakar
Lingkungan kerja toxic menjadi salah satu pemicu terbesar burnout. Dalam banyak perusahaan, lembur masih dianggap bentuk loyalitas. Gaya kepemimpinan otoriter, komunikasi buruk, dan ekspektasi tidak realistis masih banyak ditemukan.
Fresh graduate, yang biasanya belum memiliki keberanian untuk menolak, menjadi kelompok yang paling mudah ditekan.
Mereka sering menerima tugas bertumpuk di luar jobdesk tanpa kompensasi jelas. Ketika mencoba menyampaikan keberatan, sering muncul kalimat populer yang menyakitkan:
“Kalau tidak kuat, masih banyak yang mau menggantikan.”
Dunia Kerja Tidak Harus Kejam
Burnout pada fresh graduate bukan tanda bahwa mereka tidak kuat. Ini adalah sinyal bahwa dunia kerja perlu dibangun dengan pendekatan yang lebih manusiawi.
Pekerja baru membutuhkan ruang belajar, waktu beradaptasi, dan pemimpin yang mampu membimbing dengan empati.
Jika perusahaan ingin bertahan dalam kompetisi global, mereka harus memahami bahwa kesehatan mental adalah investasi jangka panjang. Fresh graduate bukan sekadar “tenaga kerja murah” mereka adalah masa depan sebuah organisasi.
Generasi muda seharusnya memulai karier dengan semangat, bukan trauma. Dunia kerja boleh keras, tetapi tidak harus kejam.
Perubahan akan dimulai ketika kita mengakui bahwa generasi muda bukan hanya mencari pekerjaan, tetapi juga mencari tempat yang memanusiakan mereka.
Langkah Konkret menuju Lingkungan Kerja yang Lebih Sehat
Kawan GNFI, perubahan tidak akan terjadi jika kita hanya menunggu. Dunia kerja yang lebih manusiawi hanya bisa terwujud jika semua pihak terlibat aktif.
Perusahaan perlu memperbaiki sistem orientasi bagi pekerja baru, menyediakan mentor yang benar benar mendampingi, serta menetapkan ekspektasi yang jelas dan realistis sejak awal.
Budaya lembur perlu diganti dengan pola kerja yang sehat, sementara komunikasi harus dibangun dengan rasa saling menghargai.
Di sisi lain, fresh graduate juga perlu berani menetapkan batasan terhadap diri sendiri, berproses dalam meningkatkan kemampuan tanpa tekanan berlebihan, serta memilih lingkungan kerja yang menghargai nilai kemanusiaan.
Ketika kedua pihak bergerak bersama, dunia kerja dapat menjadi ruang yang memampukan, bukan melemahkan.
Jika langkah langkah ini dijalankan, generasi muda dapat memasuki dunia kerja dengan keyakinan bahwa mereka berada di lingkungan yang menghargai martabat manusia.
Di sinilah perubahan bermula, dari keberanian bersama untuk membangun budaya kerja yang sehat, adil, dan berkelanjutan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News