TikTok bukan lagi sekadar aplikasi hiburan. Bagi anak muda Indonesia, platform ini telah berubah menjadi ruang sosial utama—tempat belajar, mencari validasi, hingga membentuk identitas. Menurut Data We Are Social 2024 mencatat bahwa pengguna TikTok di Indonesia mencapai lebih dari 126 juta, mayoritas berusia 16–24 tahun. Ini menandakan bahwa hampir setiap dinamika kehidupan anak muda kini memiliki jejak digital yang kuat.
Di tengah tekanan akademik, keluarga, dan perubahan zaman, anak muda kini menjadikan TikTok sebagai pelarian instan. Platform tersebut menawarkan hiburan cepat, namun di balik kecepatan itu ada efek psikologis yang semakin terlihat.
Menurut GoodStats, rata-rata pengguna TikTok di Indonesia menghabiskan 44 jam 54 menit per bulan (Kompas, 25). Laporan Exploding Topics (Kompas, 25) bahkan mencatat bahwa pengguna Indonesia membuka aplikasi ini sekitar 374,9 sesi per bulan—menandakan penggunaan yang impulsif dan berulang dalam durasi pendek.
Studi University College London 2023 menunjukkan bahwa konsumsi konten pendek dapat mengubah pola fokus otak dan memicu kebutuhan dopamin berulang. Pola ini sesuai dengan temuan (Kominfo 2024) yang mengungkap bahwa 65% remaja Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam per hari di TikTok. Bukan sekadar kebiasaan, tetapi sebuah pola penggunaan yang cukup untuk memengaruhi mood, tingkat stres, dan cara mereka memandang diri sendiri.
Pengalaman pribadi saya pun membuktikan bagaimana kuatnya algoritma bekerja. Suatu ketika saya sedang berada dalam kondisi emosional yang rapuh. Saya men-like satu konten yang terasa “relate” dengan keadaan saya saat itu—tentang rasa tidak cukup, sedih, dan kehilangan arah. Beberapa jam setelah itu, seluruh FYP saya dipenuhi konten serupa: kesedihan, perbandingan diri, dan narasi patah semangat. Alih-alih merasa lebih lega, saya justru makin terjebak dalam spiral emosi negatif yang seolah dipelihara oleh algoritma.
Di sinilah persoalan utama muncul: tekanan mental anak muda bukan lagi hanya dari dunia nyata, tetapi juga dari algoritma digital yang tidak pernah tidur. Normalisasi perbandingan diri menjadi salah satu pemicunya. Konten tentang pencapaian, standar kecantikan ideal, dan kehidupan mewah menciptakan budaya perbandingan yang tidak sehat.
Riset American Psychological Association (APA, 2022) bahkan menegaskan bahwa platform video pendek berpotensi meningkatkan kecemasan dan rasa tidak puas terhadap diri sendiri.
Selain itu, tren pseudo-kesehatan mental ikut memperburuk keadaan. Banyak anak muda merasa “tersentuh” dengan konten seperti “10 tanda kamu burnout”, “5 ciri hubungan toxic”, hingga “kemungkinan kamu memiliki ADHD”. WHO sendiri menyatakan bahwa diagnosis kesehatan mental tidak bisa ditentukan dari potongan video singkat.
Dari sisi perilaku, adiksi juga mulai terlihat (WHO, 2022). Sleep Foundation (2023) menemukan bahwa penggunaan TikTok sebelum tidur memperburuk insomnia, sementara Kominfo mencatat 48% remaja merasa “ketagihan” menggunakan platform tersebut. Emosi negatif pun semakin terpelihara oleh algoritma: semakin sedih seseorang, semakin sedih pula konten yang dikirimkan kepadanya menciptakan lingkaran tanpa ujung yang sering tidak disadari (Sleep Foundation, 2023)
Diperlukan pendekatan yang lebih serius dan realistis. Pemerintah perlu memperkuat literasi digital, bukan hanya dengan kampanye tetapi juga integrasi ke kurikulum pendidikan. Platform TikTok sendiri harus memperjelas transparansi algoritma serta menambahkan fitur kontrol konten yang benar-benar efektif, terutama bagi pengguna remaja.
Orang tua dan pendidik perlu memahami bahwa dunia digital bukan sekadar hiburan, tetapi ruang yang membentuk mental dan perilaku. Sementara bagi anak muda, kesadaran untuk mengatur konsumsi konten menjadi langkah awal yang penting—mulai dari membatasi screen time, memilih konten edukatif, hingga mengetahui kapan harus berhenti.
TikTok memang memberi ruang kreativitas, hiburan, dan peluang. Namun, di sisi lain, ia ikut membentuk cara anak muda merasakan diri mereka sendiri—baik atau buruk. Pada akhirnya, menjaga kesehatan mental bukan hanya tentang menjauh dari hal buruk, tetapi juga memahami bahwa tidak semua yang tampil di layar adalah cermin dari kenyataan. Anak muda perlu memegang kendali; jangan biarkan algoritma menjadi penentu suasana hati dan cara pandang terhadap hidup.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News