Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena meningkatnya ketergantungan generasi sebelumnya terhadap Generasi Z semakin jelas terlihat. Gen Z yang lahir dalam era digital sering dianggap sebagai kelompok yang “pasti bisa”, terutama dalam urusan teknologi. Menurut Marc Prensky (2001), generasi ini memang tumbuh sebagai digital natives, yakni mereka yang sejak kecil telah terbiasa dengan perangkat digital. Namun, Kawan GNFI, anggapan ini sering berkembang menjadi tuntutan yang berlebihan.
Kemampuan adaptasi Gen Z terhadap teknologi memang lebih cepat dibanding generasi sebelumnya, sebagaimana juga dijelaskan oleh Tapscott (2009) yang menyebut Net Generation sebagai generasi yang sangat akrab dengan teknologi dan informasi.
Masalahnya, kemampuan ini kemudian diperlakukan seolah-olah sebagai kewajiban. Setiap kali ada masalah dengan gawai, aplikasi, atau platform digital baru, Gen Z dianggap sebagai solusi instan—bahkan ketika masalah tersebut berada di luar kapasitas mereka.
Siklus “Kamu kan lebih tahu teknologi” akhirnya membentuk pola yang cukup mengkhawatirkan. Gen Z bukan hanya menjadi problem solver teknologi, tetapi juga menjadi penanggung jawab tambahan dalam berbagai urusan digital. Beban mental ini sering tidak disadari oleh generasi sebelumnya.
Ekspektasi Tak Berimbang dalam Kehidupan Keluarga
Dalam kehidupan sehari-hari, Gen Z sering berperan sebagai “teknisi keluarga”. Ketika ponsel orang tua mengalami error, televisi tidak tersambung internet, atau aplikasi keuangan tidak bisa dibuka, Gen Z dipanggil sebagai penyelamat. Studi McCrindle Research (2023) tentang tren literasi digital antar generasi juga menunjukkan bahwa ketergantungan ini muncul karena adanya kesenjangan pemahaman teknologi, bukan karena Gen Z benar-benar menguasai semuanya.
Hal yang tampak sederhana ini lama-kelamaan menjadi pola. Tidak sedikit Kawan yang akhirnya memikul beban tugas digital keluarga tanpa batas. Padahal, keputusan-keputusan digital seperti pengaturan keamanan data atau penggunaan aplikasi finansial memerlukan pemahaman yang matang. Ketika semuanya diberikan pada Gen Z, beban emosional yang muncul menjadi tidak kecil.
Tekanan dalam Lingkungan Kerja
Situasi serupa juga terjadi di dunia kerja. Banyak organisasi menganggap Gen Z sebagai tenaga yang serba bisa hanya karena mereka terbiasa menggunakan teknologi sejak dini. Tapscott (2009) menekankan bahwa sekalipun generasi ini cepat belajar, mereka tetap membutuhkan bimbingan dan struktur kerja yang sehat.
Sayangnya, dalam praktiknya, kemampuan dasar Gen Z sering disalahartikan sebagai keahlian teknologi secara keseluruhan. Mereka diminta mengurus presentasi visual berbasis software tertentu, mengelola platform digital internal, hingga memecahkan masalah perangkat kantor, meski tidak semuanya memiliki latar belakang teknologi.
Di tengah proses adaptasi mereka terhadap ritme kerja modern, ekspektasi tambahan seperti ini dapat meningkatkan tekanan psikologis.
Gen Z Bukan ‘Superhuman’, Mereka Punya Batas
Terdapat asumsi keliru bahwa Gen Z mampu menguasai segala hal terkait teknologi hanya karena mereka tumbuh di era digital. Padahal, sebagaimana ditekankan Prensky (2001), menjadi digital native bukan berarti memahami seluruh aspek digital secara mendalam. Tidak semua Gen Z menguasai pemrograman, keamanan siber, atau perbaikan perangkat keras.
Ketika mereka mengakui ketidaktahuan, sering muncul penilaian bahwa mereka kurang update atau kurang usaha. Paradoks inilah yang menempatkan Gen Z dalam posisi serba salah—dituntut mengerti, tetapi dianggap gagal ketika tidak mampu memenuhi ekspektasi tersebut.
Apa Saja yang Perlu Dilakukan untuk Menghentikan Siklus Ini?
Kawan GNFI, Gen Z memang tumbuh di tengah derasnya arus teknologi, tetapi itu bukan alasan untuk menjadikan mereka penanggung jawab utama setiap persoalan digital. Untuk menciptakan hubungan lintas generasi yang lebih sehat, langkah-langkah kecil tapi nyata dapat mulai dilakukan.
Salah satunya adalah mendorong proses belajar bersama dalam keluarga maupun organisasi, sehingga setiap generasi memperoleh kesempatan memperkuat literasi digitalnya sendiri. Dengan begitu, keterampilan teknologi tidak lagi bertumpu pada satu kelompok saja.
Selain itu, pembagian peran yang lebih adil perlu mulai dibiasakan. Urusan digital dapat dikelola bersama, bukan diserahkan sepenuhnya kepada Gen Z. Sikap menghargai batas kemampuan setiap generasi juga menjadi bagian penting untuk memastikan ekspektasi tetap manusiawi. Ketika hal-hal ini dijalankan, hubungan antar generasi tidak hanya menjadi lebih setara, tetapi juga lebih harmonis.
Pada akhirnya, solusi terbaik selalu lahir dari kolaborasi. Jika setiap generasi mau melangkah bersama, saling belajar, saling memahami, dan saling menguatkan, maka transformasi digital tidak lagi menjadi beban siapa pun. .
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News