Poso pernah dikenal sebagai salah satu wilayah yang menyimpan luka mendalam akibat konflik antaragama pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an.
Namun, di balik narasi kelam yang pernah melekat, lahirlah secercah harapan dari gerakan perempuan yang perlahan membangun kembali rasa percaya, kebersamaan, dan masa depan yang lebih damai.
Di sinilah kisah inspiratif tentang Lian Gogali dan Institut Mosintuwu bermula.
Dari Luka Poso, Tumbuh Gerakan Perdamaian
Dilansir dari Mubadalah ID, Lian Gogali, perempuan kelahiran Poso pada 28 April 1978, adalah aktivis perdamaian yang menemukan fakta penting ketika melakukan penelitian tentang penyebab konflik di Poso.
Ia mewawancarai ratusan perempuan dan anak yang menjadi korban konflik, dan menemukan bahwa perempuan memiliki peran besar sebagai agen perdamaian. Sebab, mereka menyaksikan langsung dampak paling berat dari perang: kehilangan keluarga, rumah, pendidikan, dan keamanan.
Berangkat dari keyakinan bahwa rekonsiliasi harus dimulai dari akar rumput, Lian mendirikan Sekolah Perempuan dan Institut Mosintuwu pada tahun 2009, sebuah ruang pendidikan lintas iman, budaya, dan latar sosial untuk perempuan desa di Poso.
Kata Mosintuwu berarti bersatu padu, sebuah pesan yang mencerminkan semangat memulihkan martabat kemanusiaan dan hubungan antarwarga.
Sekolah Perempuan: Ruang Belajar untuk Bangkit dan Saling Mendengarkan
Dikutip dari penelitian Maryanti Babutung, Sekolah Perempuan Mosintuwu berjalan selama satu tahun dan mempertemukan perempuan dari berbagai desa, suku, dan agama. Kurikulum yang dipelajari mencakup tema penting seperti:
Agama, toleransi & perdamaian
Gender & hak-hak perempuan
Politik & partisipasi sosial
Ekonomi komunitas
Literasi hukum & layanan masyarakat
Keterampilan berbicara dan bernalar
Pertemuan lintas agama ini membuka ruang bagi para perempuan untuk saling bertukar pengalaman pahit masa konflik. Dari proses mendengar, memahami, dan menyembuhkan, tumbuhlah keberanian untuk kembali membangun kepercayaan.
Seperti yang ditemukan dalam laporan tersebut, banyak perempuan menyadari bahwa tidak ada pihak yang memenangkan konflik, semuanya adalah korban. Kesadaran bersama inilah yang menjadi pondasi rekonsiliasi.
Project Sophia dan Perempuan Pembaharu Desa
Institut Mosintuwu tidak hanya membangun dialog, tetapi juga menciptakan aksi nyata. Melalui Project Sophia, perpustakaan keliling hadir ke desa-desa membawa ribuan buku dan ruang bermain bagi anak-anak lintas agama.
Kegiatan ini bukan sekadar membaca, tetapi membangun persahabatan baru, mengganti rasa takut menjadi percaya.
Selain itu, program Perempuan Pembaharu Desa mendorong perempuan terlibat dalam proses pengambilan keputusan pembangunan desa. Banyak alumni kini duduk dalam struktur strategis desa, menghasilkan program ekonomi lokal, usaha desa, hingga kampanye anti kekerasan perempuan dan anak.
Dampak yang Terasa Nyata di Poso
Penelitian tersebut mencatat bahwa lebih dari 90% masyarakat merasakan dampak positif dari program Mosintuwu, baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun politik.
Beberapa perubahan yang nyata di antaranya:
Meningkatnya rasa saling percaya dan toleransi antaragama
Terjalinnya kembali relasi sosial yang sempat terputus
Pemulihan ekonomi lokal melalui usaha desa
Perempuan memiliki posisi tawar dan suara dalam pembangunan
Anak-anak kembali memiliki ruang aman untuk belajar dan tumbuh
Seperti yang diungkap salah satu alumni Sekolah Perempuan:
“Kalau dulu saya tidak dipandang di desa, tapi sekarang saya punya posisi tawar dan berani berargumentasi.”
Cerita lain datang dari seorang ibu yang kini membuat festival anak di desanya sebagai bentuk perayaan damai setelah bertahun-tahun hidup dalam trauma konflik.
Dari Poso untuk Indonesia
Atas kerja kemanusiaan ini, Lian Gogali meraih berbagai penghargaan nasional dan internasional, termasuk Indonesia Women of Change (2015), Coexist Prize (2012), Freedom of Worship Awards, dan GUSDURian Award (2020).
Namun, yang paling membanggakan bukanlah penghargaan itu sendiri, melainkan kenyataan bahwa perempuan akar rumput kini menjadi penggerak perubahan. Bahwa masa depan Poso tidak lagi ditentukan oleh ketakutan, tetapi oleh keberanian untuk saling menyapa dan saling belajar.
Harapan yang Terus Disulam
Perdamaian bukan sesuatu yang selesai dalam sehari. Ia tumbuh dari langkah kecil yang konsisten, dari ruang belajar sederhana, dari percakapan yang jujur, dari keberanian perempuan-perempuan desa untuk memulai ulang.
Poso bukan lagi cerita tentang luka. Poso adalah cerita tentang pulih. Tentang bangun berdampingan. Tentang perempuan yang menjadi cahaya.
Dan mungkin, dari tempat kecil seperti ini, kita bisa belajar: bahwa perdamaian tidak menunggu keadaan membaik, ia diciptakan bersama.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News