Lembah Bada, sebuah permata tersembunyi yang terletak di Kecamatan Lore Selatan, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, menawarkan perpaduan langka antara keindahan alam yang memukau dan warisan sejarah prasejarah yang penuh misteri.
Berada di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Lembah Bada tidak hanya menyajikan panorama alam yang asri, tetapi juga menjadi rumah bagi puluhan, bahkan ratusan, peninggalan megalitikum yang usianya diperkirakan mencapai ribuan tahun.
Julukan "Negeri Seribu Megalit" sangatlah pantas disematkan kepada wilayah Sulawesi Tengah, dan Lembah Bada adalah salah satu situs utamanya.
Di hamparan padang rumput yang luas, di tengah suasana sejuk dan damai, wisatawan akan disambut oleh arca-arca batu berukuran raksasa dan kalamba (bejana atau lumpang batu) yang tersebar di beberapa desa seperti Gintu, Bewa, dan Kolori.
Benda-benda purbakala ini, dengan bentuknya yang unik dan ukurannya yang masif, menjadi saksi bisu peradaban yang pernah berjaya di masa lampau, memicu rasa takjub dan pertanyaan yang tak berkesudahan. Siapakah pembuatnya? Dan apa tujuan didirikannya patung-patung ini?
Ikon Paling Populer, Patung Palindo
Dari sekian banyak megalit yang ada, patung Palindo adalah yang paling terkenal dan menjadi ikon Lembah Bada. Patung batu setinggi kurang lebih empat meter ini memiliki wajah menonjol, mata bulat, dan posisi agak miring—sehingga dijuluki "Sang Penghibur" oleh masyarakat setempat (Palindo berarti "Penghibur").
Patung ini diyakini merepresentasikan jenis kelamin laki-laki, yang terlihat dari guratan pada batunya. Keberadaannya yang epik di tengah bentangan alam yang indah seringkali membuat pengunjung bertanya-tanya bagaimana teknologi pemahatan batu sebesar itu bisa dilakukan oleh peradaban di masa prasejarah.
Selain Palindo, terdapat juga arca-arca lain seperti Arca Langke Bulawa dan berbagai jenis kalamba. Kalamba sendiri berbentuk tong atau wadah batu besar yang fungsinya beragam, mulai dari tempat penampungan air, mandi, hingga sebagai kuburan batu.
Meskipun berbagai penelitian telah dilakukan, masih sedikit hal yang diketahui pasti mengenai kapan dan oleh siapa megalit-megalit ini dibuat.
Ada spekulasi yang menyebutkan usianya 1.000 hingga 5.000 tahun, sementara dugaan lain mengaitkannya dengan budaya megalitik di Asia Tenggara sekitar 2.000 tahun lalu.
Misteri inilah yang membuat Lembah Bada semakin menarik, terutama bagi wisatawan yang menyukai arkeologi dan sejarah purbakala.
Pesona Alam dan Budaya Lokal
Perjalanan menuju Lembah Bada berjarak sekitar 3—4 jam dari Kota Tentena (setelah melalui Palu). Memang membutuhkan stamina dan persiapan kendaraan yang baik, mengingat kondisi jalan yang terkadang kurang mulus. Namun, semua lelah akan terbayar lunas setibanya di sana.
Pengunjung akan disuguhi hamparan savana, udara sejuk, dan keramahan penduduk lokal yang mayoritas adalah suku Lore, yang hidup sederhana dan sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani.
Selain situs megalit, Lembah Bada juga mempertahankan tradisi pembuatan ranta—kain yang terbuat dari kulit kayu pohon nunu, bea, dan malo
Tradisi ini sudah ada sejak masa prasejarah dan dulunya digunakan sebagai pakaian sehari-hari, menambah dimensi budaya yang kaya pada kunjungan wisata.
Lembah Bada adalah destinasi wajib bagi mereka yang ingin merasakan sensasi berwisata purbakala sambil menikmati keindahan alam Taman Nasional Lore Lindu.
Pemandangan epik, kisah peradaban kuno, dan masyarakat yang ramah menjadikan Lembah Bada sebagai pengalaman perjalanan yang tak terlupakan, sekaligus harapan agar situs ini terus terjaga dan diakui sebagai warisan dunia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News